JAKARTA. Harga minyak sawit mentah atau
crude palm oil (CPO) menanjak di awal tahun ini. Faktor pemicunya antara lain produksi CPO yang rendah karena memasuki siklus
low season yang berlangsung di paruh pertama 2013. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, selama ini produksi minyak sawit di Indonesia terbagi dalam dua periode. "Januari ini sudah memasuki
low season untuk tanaman sawit," kata Joko, Kamis (3/13). Produksi minyak sawit di awal tahun akan mempengaruhi suplai CPO. Tapi Joko bilang kenaikan harga CPO tak terlalu signifikan karena ikut dipengaruhi permintaan.
Gapki memprediksi musim puncak
(peak season) produksi CPO Indonesia terjadi di semester kedua. Volumenya bisa mencapai 60% total produksi nasional. Adapun produksi CPO di semester pertama hanya 40%. Harga kontrak CPO untuk pengiriman Januari 2013 di Bursa Malaysia menyentuh RM 2.360 per ton. Jumlah ini meningkat 10,18% dibandingkan posisi medio Desember 2012 senilai RM 2.142 per ton. Sahat Sinaga, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), memproyeksikan harga CPO di kisaran RM 2.350 per ton hingga RM 2.400 per ton. "Ada kenaikan tapi tak signifikan," ujar Sahat. Gapki menebak volume ekspor CPO di 2012 mencapai 18 juta ton, adapun produksinya 26 juta ton. Selama 2011, produksi CPO Indonesia mencapai 23,9 juta ton CPO, naik 8% daripada realisasi 2010 yang mencapai 22,1 juta ton. Di luar faktor musiman dan permintaan, pengusaha sawit Indonesia perlu mewaspadai ancaman penurunan ekspor terkait dengan kebijakan Malaysia yang memangkas bea keluar di negara itu. Mulai awal Januari 2013, Malaysia memberlakukan bea keluar progresif atas produk minyak sawit yakni sebesar 4,5% hingga 8,5% dari sebelumnya 23% flat. Dengan kebijakan baru, pajak ekspor CPO Malaysia di Januari ini menjadi nol persen (0%). Sebab, harga referensi untuk penghitungan pajak ekspor CPO Malaysia selama Januari senilai RM 2.147,81 per ton. Padahal, ambang batas minimal pajak ekspor progresif Malaysia adalah RM 2.250 per ton. "Secara logika akan ada pengaruh, karena Malaysia bisa memberi harga lebih bagus dari kita," ujar Joko.
Dia berharap kebijakan Malaysia tidak akan menyebabkan Indonesia kehilangan pasar utama CPO. Selama ini, pasar terbesar ekspor CPO Indonesia adalah India dengan volume lebih dari lima juta ton. Joko ingin perbedaan tarif bea keluar tak menekan ekspor Indonesia ke India, seperti halnya ke Pakistan dahulu. Selama ini, ekspor CPO Indonesia ke Pakistan tertekan karena harganya berbeda dengan Malaysia. Sebelumnya Malaysia melakukan perjanjian
free trade agreement (FTA) dengan Pakistan. Alhasil, harga CPO Malaysia bisa lebih rendah 15% dibandingkan dengan harga CPO Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro