KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi akibat sentimen negatif bertubi-tubi, baik secara global maupun di dalam negeri. Nilai tukar rupiah di pasar spot hari ini, Kamis (16/5) per pukul 10.58 WIB berada di level Rp 14.450 per dollar Amerika Serikat (AS) atau menguat tipis 0,09% dibandingkan posisi penutupan kemarin. Akan tetapi dalam kurun satu bulan terakhir, kurs rupiah sudah mencatat pelemahan sekitar 2,8%. Ketegangan perdagangan yang semakin memburuk antara AS dan China menjadi pemicu utama sentimen negatif bagi global, termasuk Indonesia.
Kepala Penelitian Makroekonomi dan Finansial LPEM UI Febrio Kacaribu, dalam Seri Analisis Makroekonomi Mei 2019, memperkirakan, sentimen ini masih akan terus berlanjut dan menekan kinerja pasar domestik. "Hal ini telah meningkatkan sentimen negatif terhadap rupiah, menyebabkan
flight-to-safety di pasar obligasi dan saham," ujar Febrio dalam laporannya yang diterima Kontan.co.id, Kamis (16/5).
Flight-to-safety merupakan fenomena di mana para investor menghindari aset berisiko, termasuk rupiah. Lantas, investor memindahkan kembali aset investasinya pada instrumen yang lebih aman dan hal ini memicu lebih banyak aliran keluar pada investasi portofolio di dalam negeri. Febrio mencatat,
net outflow yang terjadi pada portofolio mencapai US$ 1 miliar dalam empat pekan terakhir. "Ini mendorong peningkatan imbal hasil (SUN) tenor 10 tahun dan 1 tahun menjadi masing-masing sebesar 8,22% dan 6,66%," lanjutnya. Belum lagi, sentimen dari dalam negeri tak begitu mendukung. Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2019 lebih lambat dari yang diharapkan yaitu hanya 5,07%
year-on-year (yoy). Pertumbuhan ekonomi melambat lantaran melambatnya investasi dan pelemahan harga global beberapa komoditas utama seperti minyak dan batubara. Sementara, angka defisit transaksi berjalan tercatat pada level 2,6% terhadap PDB di kuartal I-2019, lebih rendah dibandingkan dengan 3,6% di kuartal IV-2018. Ini didorong oleh neraca perdagangan yang tercatat surplus secara berturut-turut pada Februari dan Maret lalu. Namun, pasar kembali terpukul akibat defisit neraca perdagangan bulan April melonjak menjadi US$ 2,5 miliar. "Ini mengingatkan kita bahwa mencapai defisit transaksi berjalan di bawah 3% dari PDB masih akan cukup berat untuk 2019," kata Febrio.
Menurutnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi pasar valuta asing sejak April lalu. Selanjutnya, Febrio menilai BI perlu menyampaikan sinyal kepada pasar mengenai ekspektasi tingkat depresiasi rupiah dalam jangka pendek dan menengah. Oleh karena itu, untuk saat ini ia memandang, tingkat suku bunga masih perlu dijaga sambil tetap menjaga likuiditas sistem perbankan. Pada momen seperti ini, kemampuan BI menjaga kestabilan nilai tukar rupiah menjadi sangat krusial. "BI harus menggunakan cadangan devisa dan membiarkan suku bunga acuannya tidak berubah. Sekali lagi, kredibilitas BI dalam menstabilkan nilai tukar akan diuji," tutur Febrio. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi