JAKARTA. Beberapa proyek perumahan milik PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) tertunda. Akibatnya, manajemen perusahaan properti ini memilih merevisi target prapenjualan alias marketing sales di tahun ini. Direktur LPKR Mark Wong, seperti dikutip dalam riset Bahana Securities, menyatakan, perusahaannya memangkas target marketing sales di 2013 sebesar 28,36% menjadi Rp 5 triliun dari target sebelumnya Rp 6,98 triliun. Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, LPKR baru membukukan marketing sales Rp 3,1 triliun. Meski demikian, perseroan ini memastikan penurunan target marketing sales itu bukan disebabkan permintaan melambat, melainkan mundurnya lisensi perumahan baru LPKR. Di kuartal IV tahun ini, LPKR memang berencana meluncurkan empat perumahan baru. Namun, peluncuran proyek itu mesti ditunda menjadi tahun depan.
Demi menggenjot marketing sales, LPKR masih memiliki rencana untuk meluncurkan sebuah apartemen dan perkantoran di kuartal akhir. Pada September lalu, perseroan ini juga sudah meluncurkan proyek office tower dengan harga jual Rp 47,5 juta per m². Proyek tersebut bahkan terjual dalam hitungan hari. Meski demikian, proyek office tower hanya akan menjadi proyek jangka pendek LPKR dan bukan menjadi fokus LPKR saat ini. "Fokus perseroan masih proyek high rise terutama apartemen yang memberi margin lebih tinggi dengan penggunaan landbank yang lebih efektif," sebut manajemen LPKR. Belum lama ini, LPKR baru saja meluncurkan proyek super blok St. Moritz Makassar. Proyek Rp 3,5 triliun itu dibangun di atas lahan 2,7 hektare (ha). Proyek ini disebut sebagai world class mixed used development yang akan dirancang oleh DP Architects Singapura. Proyek ini memiliki 12 komponen yang terintegrasi yang mencakup hotel, mal, rumahsakit, sekolah, hiburan, hingga landasan helikopter. Pengembangan St. Moritz Makassar ini merupakan proyek superblok ketiga LPKR. Sebelumnya, Lippo Karawaci telah membangun Kemang Village di Jakarta Selatan dan The St. Moritz Penthouse & Residences yang berlokasi di Jakarta Barat. Ekspansi rumahsakit Tak hanya itu, LPKR tengah mengembangkan bisnis rumahsakit. Pasalnya, selama kuartal III-2013, penjualan dari bisnis ini meningkat cukup pesat. Hingga September 2013, pendapatan LPKR naik 25% dari periode sama 2012 menjadi Rp 4,78 triliun. Pendapatan divisi healthcare meningkat 47% menjadi Rp 1,83 triliun. Melalui anak usahanya, PT Siloam Internasional Hospitals Tbk (SILO), LPKR berikhtiar memiliki 40 rumahsakit di 2017. Saat ini, jumlah rumahsakit LPKR baru mencapai 14 unit. Untuk mendanai ekspansi tersebut, LPKR membutuhkan dana cukup besar. Belanja modal atau capital expenditure (capex) untuk membangun satu unit rumahsakit US$ 25 juta. Artinya, jika SILO membangun enam rumahsakit per tahun, dana yang dibutuhkan US$ 150 juta. Tak hanya dengan cara membangun sendiri, LPKR juga akan menambah jumlah rumahsakit dengan jalan akuisisi. Romeo F. Lledo, Direktur SILO, pernah mengatakan, ia sudah mendapatkan penawaran dari lima-enam rumahsakit yang siap diakuisisi.
Ekspansi LPKR di bisnis rumahsakit tentu akan menambah pendapatan berkelanjutan alias recurring income. Per September 2013, recurring income LPKR naik 38% menjadi Rp 2,72 triliun. Laba bersih LPKR di kuartal III juga naik 24% menjadi Rp 913 miliar Analis Bahana Securities Salman Fajari Alamsyah menghitung, di 2014, pendapatan LPKR bisa meningkat 19,25% jadi Rp 7,9 triliun dari estimasi tahun ini Rp 6,68 triliun. Sementara, laba bersih naik 10,6% menjadi Rp 1,4 triliun dari estimasi Rp 1,27 triliun, tahun ini. Dia merekomendasikan buy LPKR dengan target harga Rp 1.300. Jumat (22/11), harga saham LPKR tak bergerak dari Rp 910 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana