JAKARTA. Bank Indonesia (BI) meminta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) agar tidak lagi memasukkan BI rate sebagai salah satu indikator penentuan bunga penjaminan LPS atawa LPS rate. BI menyarankan LPS menggunakan suku bunga Fasilitas Bank Indonesia alias FasBI sebagai acuan. BI rate kini nongkrong di level 5,75%, sedangkan bunga FasBI sebesar 3,75%. Dengan menjadikan FasBI sebagai acuan bunga penjaminan, bunga simpanan di bank akan tergiring turun, sehingga biaya dana jadi murah. Bunga kredit pun bisa lebih rendah. Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, menurut Undang Undang LPS Nomor 2 Tahun 2004, besaran bunga penjaminan harus mengacu pada bunga pasar. Tetapi, bukan berarti bunga pasar itu adalah BI rate. UU hanya menyebutkan nasabah jangan sampai mendapatkan benefit berlebihan bila diukur dengan bunga pasar."Tidak pas mengartikan bunga pasar adalah BI rate," ujarnya, Jumat (10/2).
Dalam dunia perbankan, menurut Darmin, yang dekat dengan bunga pasar adalah bunga FasBI. Sebab, ketika bank mengalami kelebihan likuiditas di pasar, bank akan menaruh dananya di FasBI. Saat BI melakukan reverse repurchase agreement (repo) dan operasi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), referensinya juga bunga FasBI. Pada pasar modal, bunga pasar tergambar dalam yield curve surat berharga negara (SBN) 3 bulan dan 6 bulan. Sementara BI rate setara dengan yield SBN diatas 1 tahun. "Bila takut menggunakan acuan SBN, gunakan saja acuan perbankan dan BI yakni FasBI. Artinya, bunga penjaminan LPS harus 200 bps (2%) di bawah BI rate," ungkapnya. Bank sudah terbiasa Sebenarnya, perbankan bisa menerima penggunaan FasBI sebagai acuan.Hal ini terlihat dari lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 9 bulanan pada 9 Februari lalu. Pada lelang itu, rentang bunga yang ditawarkan sekitar 3,84%, lebih rendah dari lelang bulan sebelumnya, sebesar 5%. Meski yield-nya semakin mengecil, perbankan tetap berminat mengunci dana mereka di SBI 9 bulan dengan wajib memegang selama enam bulan. Pada lelang dua hari lalu itu, bank melakukan penawaran hingga Rp 47,55 triliun, sementara BI hanya menyerap Rp 5 triliun. Artinya, perbankan “terbiasa” dengan bunga rendah ini. Perry Warjiyo, Direktur Riset dan Kebijakan Moneter BI, mengatakan, rendahnya bunga dan penyerapan SBI menandakan tingginya capital inflow yang masuk ke Indonesia. Ini membuat perbankan memiliki ekses likuiditas. "Kami mau bank menurunkan bunga dan kelebihan dana mereka dialihkan ke sektor lain yang lebih bermanfaat bagi perekonomian," ujarnya. Pengamat Perbankan, Krisna Wijaya mengatakan, usulan FasBI sebagai acuan LPS rate cukup baik, karena bisa menurunkan biaya dana bank. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan perbankan. Pertama, FasBI kurang stabil karena selalu bergerak seiring BI rate. Ini memicu ketidakpastian bagi bank.
Kedua, ada masa tenggang yang harus dipenuhi. Pasalnya, menurunkan bunga deposito harus menunggu deposito tersebut jatuh tempo. Sebenarnya penurunan BI rate selalu diikuti dengan penurunan bunga deposito dan kredit. "Yang membingungkan BI ingin penurunan seberapa besar? Selain itu, bunga simpanan terlalu rendah dari inflasi sama saja dengan pemiskinan masyarakat," tukasnya. Pengamat Ekonomi, Mirza Adityaswara mengatakan, BI rate 5,75% masih terlalu tinggi dibandingkan realitas kebijakan moneter BI dalam operasi pasar. Sikap BI jauh lebih longgar daripada yang diumumkan kepada publik lewat BI rate. "Seharusnya masyarakat sudah tidak perlu melihat BI rate tetapi melihat deposit fasility. Lebih baik, BI rate diturunkan menjadi 3,75% agar masyarakat tidak bingung," ujarnya. Mirza menambahkan, selama ini BI tidak berani transparan karena khawatir pasar SUN dan valas bereaksi negatif. Padahal, cepat atau lambat, pasar akan sadar bahwa BI rate yang realistis adalah 3.75%. Saat ini di pasar sudah tidak ada pasokan dana yang bunganya 5,75%, karena SPN 3 bulan 1,6% dan SUN 10 tahun 5,1%. "Kalau BI rate turun ke bunga PUAB 3,75%, dengan sendirinya LPS rate juga turun cepat," terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri