JAKARTA. Ekonom dan bankir mengkritik usulan Bank Indonesia (BI) mengenai penggunaan bunga
Deposit Fasility (FasBI) sebagai acuan penetapan bunga wajar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS
rate). Menurut mereka, hal tersebut belum bisa diterapkan karena nasabah masih sensitif terhadap bunga. Dampak paling buruk, bisa terjadi penarikan dana dalam jumlah besar dari perbankan. BI mengusulkan
deposit fasility lantaran BI
rate kurang pas jadi acuan bunga pasar. BI
rate merupakan respons bank sentral terhadap tekanan inflasi agar tetap berada pada sasaran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Dengan menggunakan FasBI, bunga penjaminan akan turun 200 bps (2%) dan berada dibawah BI
rate. Saat ini, bunga penjaminan simpanan rupiah di level 6,5%, adapun BI
rate di angka 5,75%.
Evi Firmansyah, Wakil Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) menjelaskan, penetapan LPS
rate dibawah BI
rate akan mendorong nasabah mengalihkan dana mereka ke instrumen non-bank yang menawarkan
yield lebih tinggi. "Jangan lupa, rupiah sedang dalam tekanan karena melemahnya ekspor, sementara investor asing banyak masuk ke Indonesia untuk investasi portofolio yang sangat spekulatif," ujarnya, Ahad (12/2). Menurut Evi, bunga deposito sebesar 3,75% kalah bersaing dengan tawaran
mutual fund dari luar negeri. Bunga deposito sebesar itu menghasilkan imbal hasil negatif alias tergerus inflasi. Nasabah tidak akan tertarik. Investasi luar negeri memang menawarkan bunga 0,5% untuk simpanan dollar Amerika Serikat (AS), tetapi dengan asumsi depresiasi sebesar 5%, imbal hasilnya akan positif atau setara deposito. "Di mata pemilik dana, dollar merupakan
safe haven currency, sementara rupiah terus dihantui inflasi dan ketidakjelasan kebijakan BBM dan listrik," tukasnya. Melindungi nasabah Senada, Tony A. Prasetyantono, Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan, penurunan bunga penjaminan di bawah BI
rate akan menguras DPK. Pemilik dana bisa memindahkan dana mereka ke dollar atau emas. "Likuiditas bakal mengetat. Efeknya, pinjam meminjam antarbank ramai dan bunga
overnight tinggi,” kata Komisaris Independen Bank Permata ini. Nasabah besar berpotensi lari karena memiliki alternatif investasi. "Solusinya, perlu pendalaman pasar keuangan, sehingga nanti nasabah tidak sensitif lagi terhadap suku bunga,” kata Tony. C. Heru Budiargo, Ketua Dewan Komisioner LPS mengatakan, saat ini LPS merasa kurang tepat menerapkan LPS
rate mengacu ke PUAB 3,5%, FasBi 3,75% atau
yield Surat Perbendaharaan Negara (SPN) sekitar 1,6%. Imbal hasil ketiga instrumen itu hanya menggambarkan banjir likuiditas di pasar keuangan, belum merata ke bank.
UU LPS No 24 menegaskan, LPS
rate mengacu bunga wajar ditambah margin tertentu. Nah, bunga wajar LPS ini terwakili oleh rata-rata bunga DPK. "Likuiditas pasar keuangan belum mampu mendorong bunga DPK turun secara optimal," kata Heru.. Peluang penurunan LPS
rate masih terbuka. Berdasarkan data LPS selama 6 bulan terakhir, biaya dana bank-bank besar sedikit menurun, kendati tak diikuti bank kelas menengah ataupun bank kecil yang biaya dananya meningkat. "LPS tidak dalam posisi sebagai
leader pengaturan tingkat bunga dan likuiditas. Kami memastikan LPS
rate dalam koridor UU dan untuk melindungi kepentingan nasabah” katanya. Penurunan biaya dana maupun suku bunga kredit bank membutuhkan waktu lama. Kondisi ideal hanya bisa tercapai jika dibarengi perbaikan fundamental struktur perbankan, termasuk tindak lanjut Arsitektur Perbankan Indonesia (API)," ujar pungkas Heru. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News