LPS tetap jamin DPK bank sakit



JAKARTA. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berencana mengeluarkan dua peraturan baru. Para pengurus LPS berharap, calon beleid ini bisa memperjelas aturan main mengenai simpanan yang tak layak bayar bank likuidasi.

Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani mengingatkan, dua calon aturan ini hanya menyempurnakan peraturan, bukan mengubah secara mendasar. "Secara prinsip UU Nomor 24 tahun 2004 dan Peraturan LPS sudah mengatur secara jelas penjaminan dana nasabah, cuma memang ada beberapa hal yang perlu diperjelas lagi," kata dia.

LPS akan memperjelas status dana nasabah yang dihimpun bank dalam status pengawasan khusus Bank Indonesia (BI). Dalam aturan baru nanti, LPS akan menegaskan dana masyarakat yang masuk ke bank sakit tetap terlindungi, asal si nasabah menerima bunga sesuai penjaminan.


Selama ini, kasus dana nasabah yang dihimpun bank sakit kerap menyulitkan proses likuidasi. LPS tidak menjamin simpanan kategori ini, tapi bank sakit tetap leluasa menghimpun DPK.

BI sendiri sudah melarang bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) sakit untuk menghimpun DPK. "Tapi, praktik di lapangan, aturan ini tidak efektif," katanya.Betul, BI telah menjelaskan ke pengurus bank tentang larangan tersebut. Tapi, tidak ada jaminan para pengurus bank mematuhi perintah BI. "Tidak mungkin, BI memerintahkan bank memasang pengumuman tidak boleh menghimpun dana karena alasan sedang sakit," katanya.

BI juga tidak mungkin setiap hari nongkrong di kantor bank sakit untuk memastikan mereka tidak menjaring DPK. Lagipula, jika BI sedang mengawasi, lalu ada nasabah yang menyetor uang ke teller, petugas BI tidak bisa serta merta melarang.

Pengawasan cicilan

Firdaus memberi garansi, sebagai penjamin simpanan, LPS berpihak pada kepentingan nasabah. "Maka itu, kami akan menegaskan DPK yang dihimpun bank sakit tetap terjamin," katanya.

LPS kerap menemukan masalah ini ketika melikuidasi BPR. Firdaus mencontohkan kasus likuidasi BPR Bungbulang di Garut, Jawa Barat. Bank yang ditutup pada November 2007 ini memiliki DPK sekitar Rp 11 miliar.

Dari jumlah itu yang layak bayar cuma Rp 176 juta. Yang menarik, dari total simpanan tak layak bayar senilai Rp 11,46 miliar, sebanyak Rp 6,65 miliar masuk saat bank sakit.

Selain soal DPK, LPS juga bakal merilis aturan hadiah atau pemberian bank. Prinsipnya, LPS memasukkan hadiah dan sejenisnya dalam bunga. "Jika melebihi bunga penjaminan, simpanan tersebut tak dijamin," katanya.

Perbankan berharap otoritas bersikap tegas. Soal hadiah misalnya, bankir lebih senang praktik ini dilarang. Anggapan bank kecil akan terpukul jika larangan itu diberlakukan, adalah keliru. "Justru mereka senang karena bisa bersaing secara fair. Yang mampu memberikan hadiah jorjoran itu justru bank besar," ungkap Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa