Lucky andalkan jam kayu untuk berdiri sendiri



Tak salah jika Kota Bandung diproyeksikan sebagai pusat industri kreatif dalam negeri. Dari kota ini memang muncul banyak usaha di sektor industri kreatif. Salah satunya adalah Lucky Danna Aria, yang mempelopori usaha pembuatan jam tangan dari bahan kayu di Indonesia.

Dua tahun belakangan, Lucky memproduksi jam tangan dari kayu dengan merek Matoa. Saat ini, Lucky bisa menjual hingga 500  jam tangan saban bulan. Pandai melihat peluang dan gigih dalam berusaha merupakan kunci sukses Lucky.

Sebelum merintis Matoa, Lucky menjalani hari-harinya sebagai pegawai swasta. Tamatan SMA Negeri 2 Bandung ini pernah bekerja sebagai karyawan. Beberapa kali bekerja untuk orang lain, ia selalu ditempatkan di posisi yang berhubungan dengan marketing. Terakhir, Lucky menjabat Head of Marketing Communication di salah satu usaha kue. “Dari sana saya mendapat banyak ilmu tentang pemasaran,” tutur pria 28 tahun ini.


Ide untuk merintis usaha pembuatan jam tangan dari kayu ini muncul pada 2012. Saat itu, Lucky terinspirasi dari produk serupa yang dibelinya dari Amerika Serikat. Padahal, bahan kayu untuk membuat jam tangan tersebut berasal dari Indonesia. “Saya pikir, mengapa produk itu tidak dibikin di Indonesia saja,” ujar dia.

Namun, ketika kembali ke Tanah Air, Lucky tak langsung memulai usaha. Ia butuh waktu setahun hingga mantap meluncur dengan usaha pembuatan jam tangan kayu yang ia beri merek Matoa. “Selama satu tahun saya belajar bagaimana sebuah jam tangan bisa diproduksi dan diaplikasikan pada material yang waktu itu belum pernah dibuat,” kisah pria kelahiran 23 Maret 1986 ini.

Sembari belajar, Lucky juga mencari rekan yang mau membantunya dalam kegiatan produksi. Ia menyadari kelemahannya di proses ini. “Tapi saya sudah punya target berapa lama saya menggantungkan urusan produksi ke orang lain,” ucap dia. Februari 2013, Lucky baru menjual produknya.

Pada bulan pertama peluncuran produknya, Lucky berhasil menjual 100 unit jam. Tiga tipe yang diluncurkan pertama kali ialah Rote, Flores, dan Sumba, dengan banderol harga Rp 890.000 per unit.

Sejak awal, Lucky berharap Matoa menjadi contoh merek lokal yang berdiri di atas kaki sendiri. Jadi, Lucky mematok harga yang cocok dengan segmen anak muda. Dia beranggapan, anak muda bisa memicu perkembangan merek lokal.

Namun, dia mengaku sulit menyakinkan konsumen saat kemunculan Matoa, khususnya soal kualitas. Sebagai solusi,  Lucky memberikan garansi.  “Saat itu, mungkin baru Matoa yang berani memberi garansi,” ujar Lucky.

Pada bulan kedua usahanya, Lucky mendapat tawaran untuk masuk pasar Jepang. Dia tak melewatkan kesempatan ini, karena Jepang merupakan negara dengan standar pengawasan kualitas tertinggi di dunia. Dus, kalau berhasil menembus pasar Jepang, ia percaya produknya bisa dengan mudah diterima di negara lain.

Lantas, pertengahan tahun ini, Lucky memberanikan diri untuk menambah kapasitas produksi karena penjualan yang terus membaik. Dia membuka tempat produksi sendiri dengan pinjaman dari modal ventura.

Harus inden

Lucky menggunakan kayu eboni makassar dan maple untuk bahan jam tangan. Dua kayu tersebut merupakan kayu dengan kualitas tinggi. Selain itu, limbah kayu ini juga mudah didapatkan. Sekitar 30% proses pembuatan Matoa dilakukan dengan tenaga manusia, lantaran tak punya modal untuk membeli mesin canggih. Maklum, untuk merintis Matoa, dia hanya merogoh kocek sebesar Rp 30 juta.

Meski begitu, proses ini masih dipertahankan. Pasalnya, untuk bersaing dengan produk buatan luar negeri, faktor tenaga manusia menjadi daya tarik. Kehadiran pengrajin tradisional dan budaya ditonjolkan Lucky karena dua poin itu tak dimiliki produk dari negara asing.

Kini, penjualan Matoa dalam sebulan berada di kisaran 400–500 unit. “Untuk saat ini jika ada yang membeli Matoa harus sabar menunggu hingga dua minggu,” ucap Lucky.

Berkat pengalaman di bidang pemasaran, Lucky menyadari produk yang baik tanpa strategi marketing yang tepat, belum tentu bisa berhasil. Dengan mengetahui strategi pemasaran yang tepat, ia percaya produk apapun bisa dijual. “Prinsipnya, ide adalah hal yang paling berharga karena ide melebihi modal. Nah, eksekusi melebihi ide,” tegas Lucky.

Strategi utama Matoa adalah mengandalkan pemasaran getok tular. Sejak awal, ia sadar bahwa produknya harus sebanyak mungkin diperbincangkan orang. Berbagai jalur ia gunakan, termasuk tampil di situs produk dan media sosial, terutama Instagram dan Twitter. Target pasarnya ialah anak muda yang doyan dengan hal-hal baru dengan usia 25 tahun–45 tahun dan kelas sosial B+, A, A+ (social influencer).

Perjalanan bisnisnya memang tak selalu mulus. Pada pertengahan tahun ini, Matoa sempat terancam tutup karena rekan bisnisnya tidak sanggup untuk melanjutkan pengerjaan jam tangan kayu. “Saya negosiasi supaya usaha bisa dilanjutkan. Akhirnya, saya putuskan memproduksi sendiri,” tutur dia.

Lucky menambahkan, tantangan terbesarnya untuk mengembangkan Matoa ialah ia tidak boleh berhenti kreatif. Dengan matinya kreativitas, maka bisa dipastikan Lucky tersingkir dari industri ini. Dus, ia sudah punya banyak rencana untuk membesarkan Matoa.  

Di masa mendatang, ia akan menambah produk lifestyle tapi dengan bahan dasar yang sama. Saat ini Lucky sudah mulai menciptakan produk lain seperti dasi kupu-kupu dan speaker akustik dari kayu limbah, namun belum dirilis. “Ke depan saya ingin pengembangannya lebih luas, bahkan sampai menjadi Matoa Living untuk produk furnitur,” ungkapnya. Semoga terwujud, ya!    

Tak sempat lulus kuliah

Masyarakat sempat heboh dengan latar belakang pendidikan seorang menteri yang lulusan SMP. Nah, Lucky Danna Aria juga termasuk contoh orang yang sukses tanpa gelar sarjana.

Seusai tamat dari SMA 2 Bandung pada 2004, Lucky sempat ambil jurusan perhotelan di Akademi Pariwisata NHI Bandung. Setelah itu, ia kuliah di jurusan komunikasi visual di ARS International School. Ia juga pernah kuliah di jurusan Manajemen Universitas Widyatama. “Di tiap jurusan, saya hanya ikut kuliah tak lebih dari sebulan,” ungkap dia.

Lucky bersikap semacam itu bukan karena tak menganggap pendidikan penting. Hanya saja, ia menilai ilmu bisa didapat dari mana saja. “Yang penting niat mau belajar,” tandasnya. Dus, daripada kuliah, ia memutuskan bergaul dengan banyak orang untuk mencari pengalaman. Dia pun semakin giat untuk berusaha agar tidak diremehkan.

Kesuksesan Lucky tidak bisa lepas dari peran mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika, Dino Patti Djalal. Pasalnya, Dino yang menantang anak muda Indonesia untuk menciptakan produk lokal yang selevel dengan produk internasional.

Ceritanya, dimulai dari membeli jam tangan dari bahan kayu di Amerika seharga US$ 200 atau sekitar Rp 2 juta. Lewat akun Twitternya, pada 15 Maret 2013, Dino menantang pengusaha muda Indonesia untuk membuat produk serupa. Bagi Dino, produk jam kayu ini akan laku di pasar internasional karena alami, orisinal dan beda. Selain itu, kata Lucky, produk jam tangan dan kacamata kayu bisa jadi UKM nomor satu di Amerika.

Lucky menanggapi tantangan itu. Setelah berhasil memproduksi jam tangan kayu, dia menemui Dino. “Setelah itu, saya beberapa kali diundang Pak Dino, termasuk saat menemui pengusaha AS,” kata Lucky.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi