KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah tengah fokus untuk menggenjot hilirisasi mineral hingga bisa menghasilkan produk lanjutan yang memiliki nilai tambah tinggi. Hal itu sebagai strategi untuk menekan defisit transaksi berjalan alias Current Account Deficit (CAD). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, hilirisasi mineral ini khususnya akan berfokus pada nikel. Luhut menyebut, pemerintah akan mendongkrak nilai tambah komoditas ini, dan menargetkan sudah bisa memproduksi baterai lithium pada tahun 2023. Baca Juga: Asing mulai catatkan beli bersih, begini penyebabnya menurut analis "Bertahun-tahun nikel berhenti di ore (mentah) saja, nggak pernah digarap ke sana (hilir). Kita mau mengejar sampai baterai, 2023 kita masuk," kata Luhut di Kantornya, Selasa (10/12). Untuk itu, Luhut mengatakan bahwa pihaknya terus berupaya menarik investasi dalam industri baterai lithium ini. Salah satu caranya, kata Luhut, ialah dengan pelarangan ekspor ore nikel kadar rendah yang dipercepat menjadi Januari 2020. Menurutnya, sebanyak 98% bijih nikel Indonesia dikirim ke China. Luhut mengklaim, penutupan ekspor ini justru mendatangkan investasi masuk ke Indonesia. "Anda tahu tidak, 98% nikel ore diekspor ke Tiongkok. Kalau saya larang yang rugi siapa? karena dia harus relokasi untuk pindah ke kita," ungkapnya. Luhut menyebut, saat ini sedang ada penjajakan investasi baru untuk pembangunan fasilitas pembuatan baterai lithium dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Lokasi untuk fasilitas pembuatan lithium HPAL ini belum ditentukan. Namun, Luhut mengatakan salah satu opsi yang terkuat berlokasi di Patimban. Baca Juga: Antam Membuka Peluang Kongsi Proyek Pemurnian Konsentrat (Smelter) "Pertimbangan teknis, sedang dihitung. Tapi (pembuatan) Katoda pasti di Morowali (Sulawesi Tengah)," kata Luhut. Luhut masih belum mendetailkan mengenai investasi ini. Yang jelas, ia berharap pada tahun ini izin lingkungan untuk HPAL sudah bisa terbit. Sehingga pada tahun 2023 sudah bisa beroperasi. "Konstruksi dia itu kan 18 bulan - 2 tahun," ungkapnya. Luhut yakin, hilirisasi mineral, khususnya nikel ini dapat berdampak signifikan untuk mengatasi CAD yang diderita Indonesia. Sebab, barang yang akan diekspor Indonesia nantinya tidak lagi komoditas mentah, melainkan produk turunan yang sudah memiliki nilai tambah. "Itu akan punya dampak luar biasa pada ekspor kita sehingga CAD yang US$ 31 miliar itu akan bisa kita atasi. CAD bisa diatasi dengan ekspor kita yang meningkat, yang paling cepat ini adalah value added ini," terang Luhut. Ada di Empat Tempat Adapun, Kementerian ESDM mencatat, setidaknya ada empat tempat yang menjadi lokasi pembangunan fasilitas hilirisasi nikel. Yakni fasilitas pemurnian bijih nikel kadar rendah yang menggunakan teknologi hidrometalurgi. Pertama, di Sulawesi Tengah, yakni (1) PT Huaye Bahodopi di IMIP Industrial Park, Morowal. Proyek yang dimiliki PT Huayue Nickel Cobalt ini direncanakan memiliki kapasitas input 11 juta bijih nikel per tahun dengan kapasitas output 60.000 ton Ni per tahun dan 7.800 ton cobalt. Nilai investasi dari proyek ini sebesar US$ 1,28 miliar dengan jadwal proyek Januari 2020-Januari 2021.
Luhut: Indonesia andalkan hilirisasi mineral untuk tekan defisit transaksi berjalan
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah tengah fokus untuk menggenjot hilirisasi mineral hingga bisa menghasilkan produk lanjutan yang memiliki nilai tambah tinggi. Hal itu sebagai strategi untuk menekan defisit transaksi berjalan alias Current Account Deficit (CAD). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, hilirisasi mineral ini khususnya akan berfokus pada nikel. Luhut menyebut, pemerintah akan mendongkrak nilai tambah komoditas ini, dan menargetkan sudah bisa memproduksi baterai lithium pada tahun 2023. Baca Juga: Asing mulai catatkan beli bersih, begini penyebabnya menurut analis "Bertahun-tahun nikel berhenti di ore (mentah) saja, nggak pernah digarap ke sana (hilir). Kita mau mengejar sampai baterai, 2023 kita masuk," kata Luhut di Kantornya, Selasa (10/12). Untuk itu, Luhut mengatakan bahwa pihaknya terus berupaya menarik investasi dalam industri baterai lithium ini. Salah satu caranya, kata Luhut, ialah dengan pelarangan ekspor ore nikel kadar rendah yang dipercepat menjadi Januari 2020. Menurutnya, sebanyak 98% bijih nikel Indonesia dikirim ke China. Luhut mengklaim, penutupan ekspor ini justru mendatangkan investasi masuk ke Indonesia. "Anda tahu tidak, 98% nikel ore diekspor ke Tiongkok. Kalau saya larang yang rugi siapa? karena dia harus relokasi untuk pindah ke kita," ungkapnya. Luhut menyebut, saat ini sedang ada penjajakan investasi baru untuk pembangunan fasilitas pembuatan baterai lithium dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Lokasi untuk fasilitas pembuatan lithium HPAL ini belum ditentukan. Namun, Luhut mengatakan salah satu opsi yang terkuat berlokasi di Patimban. Baca Juga: Antam Membuka Peluang Kongsi Proyek Pemurnian Konsentrat (Smelter) "Pertimbangan teknis, sedang dihitung. Tapi (pembuatan) Katoda pasti di Morowali (Sulawesi Tengah)," kata Luhut. Luhut masih belum mendetailkan mengenai investasi ini. Yang jelas, ia berharap pada tahun ini izin lingkungan untuk HPAL sudah bisa terbit. Sehingga pada tahun 2023 sudah bisa beroperasi. "Konstruksi dia itu kan 18 bulan - 2 tahun," ungkapnya. Luhut yakin, hilirisasi mineral, khususnya nikel ini dapat berdampak signifikan untuk mengatasi CAD yang diderita Indonesia. Sebab, barang yang akan diekspor Indonesia nantinya tidak lagi komoditas mentah, melainkan produk turunan yang sudah memiliki nilai tambah. "Itu akan punya dampak luar biasa pada ekspor kita sehingga CAD yang US$ 31 miliar itu akan bisa kita atasi. CAD bisa diatasi dengan ekspor kita yang meningkat, yang paling cepat ini adalah value added ini," terang Luhut. Ada di Empat Tempat Adapun, Kementerian ESDM mencatat, setidaknya ada empat tempat yang menjadi lokasi pembangunan fasilitas hilirisasi nikel. Yakni fasilitas pemurnian bijih nikel kadar rendah yang menggunakan teknologi hidrometalurgi. Pertama, di Sulawesi Tengah, yakni (1) PT Huaye Bahodopi di IMIP Industrial Park, Morowal. Proyek yang dimiliki PT Huayue Nickel Cobalt ini direncanakan memiliki kapasitas input 11 juta bijih nikel per tahun dengan kapasitas output 60.000 ton Ni per tahun dan 7.800 ton cobalt. Nilai investasi dari proyek ini sebesar US$ 1,28 miliar dengan jadwal proyek Januari 2020-Januari 2021.