KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan akan mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar Family Office bisa berjalan pada Februari 2025. Luhut tidak ingin Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia yang sudah lebih dulu melakukan pembangunan Family Office. Oleh karena itu, ia menyebut bahwa pemerintah Indonesia akan memberikan insentif yang lebih kompetitif jika dibandingkan dengan Malaysia.
Baca Juga:
Luhut Ingin Family Office Mulai Jalan Februari 2025, akan Ajukan Usul ke Prabowo "Mereka kasih insentif yang sangat kompetitif. Kita harus, kalau enggak, kita kalah," kata Luhut kepada awak media di Jakarta, Rabu (15/11). Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan mengkritik keras rencana pemerintah untuk melakukan pembentukan Family Office di Indonesia. Ia menilai kebijakan tersebut berpotensi memberikan dampak negatif bagi perekonomian, keadilan sosial, da kredibilitas pemerintah di mata publik. "Saya tidak sependapat dengan rencana pembentukan Family Office di Indonesia," tegas Maftuch, nama sapaannya kepada Kontan.co.id, Rabu (15/1). Maftuch membeberkan beberapa kerugian apabila pemerintah tetap menjalankan Family Office. Pertama, Family Office yang umumnya digunakan oleh keluarga superkaya, dinilai berpotensi menjadi sarana penghindaran pajak.
Baca Juga: Luhut Berharap Family Office Mulai Berjalan pada Februari 2025 Menurutnya, tujuan utama keluarga superkaya membuat Family Office adalah untuk melindungi kekayaan keluarga agar tidak dikenakan pajak, agar leluasa bergerak tanpa dikenakan pajak dan syarat administrasi lainnya, agar urusan pribadi anggota keluarga super kaya dapat dilindungi/difasilitasi tanpa hambatan dan lain-lain. "Intinya orang superkaya ini akan menjadikan Family Office sebagai jalan untuk mendapatkan pengecualian-pengecualian hukum atau regulasi," katanya. Kedua, Family Office tidak menjamin FDI. Maftuch mencontohkan praktik di Dubai, di mana Family Office kerap melakukan investasi di luar negara tersebut. Sebut saja Digi Investment yang bergerak di bidang fintech dan lainnya tapi lokasi investasinya di Indonesia. Begitu juga dengan Klein Capital yang bergerak di bidang makanan dan peralatan pertanian, namun lokasi investasinya di Amerika Serikat. Ketiga, Maftuch menganggap Family Office akan menurunkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat biasa karena pemerintah bisa dianggap terlalu tunduk terhadap keluarga superkaya.
Baca Juga: Godok Insentif untuk Family Office, Wamenkeu: Kita Harus Kompetitif Family Office dapat menurunkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) Pribadi, khususnya WP Pribadi kelas menengah. Padahal, selama ini penerimaan negara dari WP Pribadi kelas menengah yang paling besar. "Family Office akan menciderai rasa keadilan Wajib Pajak, yang Wajib Pajak bawah-menengah dikejar dan diperketat, sementara Wajib Pajak keluarga superkaya dilonggarkan kecualikan," katanya. Keempat, ia menilai bahwa Family Office berpotensi menjadi sarana bagi superkaya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, misalnya praktik pencucian uang lintas negara, baik yang bersumber dari aktivitas legal maupun aktivitas ilegal.
"Pemerintah jangan terlalu silau dengan Family Office dan jangan terlalu lugu atau pura-pura lugu dengan Family Office," imbuh Maftuch.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo