Jauh sebelum memiliki sembilan gerai Sop Sumsum Langsa, Lukmanul Hakim telah melihat prospek usaha kuliner dengan bahan baku utama sumsum ini cukup menggiurkan. Selain bahan baku sumsum lembu cukup melimpah, persaingan usaha juga masih longgar. Bahkan, tak ada pengusaha resto mengolah sumsum pada tahun 1980-an.Jaringan soup house dan restoran Sop Sumsum Langsa di Medan dan Banda Aceh yang dimiliki Lukmanul Hakin adalah buah pemikiran dan hasil kerja kerasnya membangun usaha itu. Jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala ini mulai merintis usahanya dari gerobak dan warung tenda, sesaat setelah menginjakkan kakinya di Medan.Ia berusaha menjaring pelanggan dengan membuka warungnya sejak siang hingga malam. "Ketika itu, jenis masakan tak sebanyak sekarang," ujarnya. Hingga pada tahun 1990, Lukman, panggilan akrabnya memberanikan diri membuka kios untuk berjualan. "Saya berharap, usaha saya ini bisa berkembang," ucapnya. Maklum, dengan membuka kios, ia ingin masakannya juga dinikmati pengunjung dari kalangan atas.Berlimpahnya sumsum lembu di Aceh, menginspirasi Lukman untuk menawarkan masakan ini. Ia sangat prihatin melihat penjual tulang sumsum di Aceh yang sulit mencari pembeli. Pertengahan era 1990-an, pasar makanan dan kios-kios makanan sangat menjamur di Medan. Lukman pun harus bersaing dengan pengusaha kuliner lain yang menawarkan masakan oriental, seperti cap cay, kwetiau, dan bakmi. Belum lagi, saat itu, restoran cepat saji dengan karakter modern juga merangsek ke ibukota Sumatera Utara.Lukman pun tak tinggal diam. Ia terjun langsung ke gerainya dan selalu menyapa pelanggan. Tak lupa pula menanyakan pendapat mereka tentang sajian sop sumsum. "Pesan mereka bisa menjadi bahan evaluasi bagi kami," tegasnya.Lantas, dia pun berusaha menyesuaikan citarasa sop sumsum sesuai dengan lidah pengunjungnya, yang tak hanya berasal dari Medan dan Aceh. "Ternyata, hasilnya positif. Lambat laun, kami punya penggemar," ujar Lukman.Omzet pun melonjak. Bahkan, sop sumsum kerap habis sebelum waktunya. Selanjutnya, ia mulai berpikir untuk membuka cabang baru untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Pria 55 tahun ini juga bilang, ke depan, ia akan mencoba untuk membawa Sop Sumsum Langsa masuk ke kota besar lain seperti Jakarta. Selain itu, ia juga berniat menawarkan waralaba untuk mengibarkan usahanya ke luar Sumatera. Dan, keinginan untuk menyasar penggemar sumsum di kota metropolitan ternyata bukan isapan jempol belaka. Untuk merealisasikannya, kini, ia sedang berkonsultasi dengan konsultan waralaba guna merancang dan menghimpun strategi untuk bisa bersaing di tengah hegemoni makanan yang ada di ibukota. "Mungkin tahun depan, kami mulai berekspansi ke Jakarta," ungkap Lukman.Meskipun mengusung merek daerah, Lukman tetap yakin usahanya tersebut akan berbuah manis. Apalagi, ia melihat sop sumsum langsa belum banyak disajikan oleh resto-resto yang banyak tersebar di Jakarta.(Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Lukman siap ekspansi jaringan sop sumsum ke ibu kota (2)
Jauh sebelum memiliki sembilan gerai Sop Sumsum Langsa, Lukmanul Hakim telah melihat prospek usaha kuliner dengan bahan baku utama sumsum ini cukup menggiurkan. Selain bahan baku sumsum lembu cukup melimpah, persaingan usaha juga masih longgar. Bahkan, tak ada pengusaha resto mengolah sumsum pada tahun 1980-an.Jaringan soup house dan restoran Sop Sumsum Langsa di Medan dan Banda Aceh yang dimiliki Lukmanul Hakin adalah buah pemikiran dan hasil kerja kerasnya membangun usaha itu. Jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala ini mulai merintis usahanya dari gerobak dan warung tenda, sesaat setelah menginjakkan kakinya di Medan.Ia berusaha menjaring pelanggan dengan membuka warungnya sejak siang hingga malam. "Ketika itu, jenis masakan tak sebanyak sekarang," ujarnya. Hingga pada tahun 1990, Lukman, panggilan akrabnya memberanikan diri membuka kios untuk berjualan. "Saya berharap, usaha saya ini bisa berkembang," ucapnya. Maklum, dengan membuka kios, ia ingin masakannya juga dinikmati pengunjung dari kalangan atas.Berlimpahnya sumsum lembu di Aceh, menginspirasi Lukman untuk menawarkan masakan ini. Ia sangat prihatin melihat penjual tulang sumsum di Aceh yang sulit mencari pembeli. Pertengahan era 1990-an, pasar makanan dan kios-kios makanan sangat menjamur di Medan. Lukman pun harus bersaing dengan pengusaha kuliner lain yang menawarkan masakan oriental, seperti cap cay, kwetiau, dan bakmi. Belum lagi, saat itu, restoran cepat saji dengan karakter modern juga merangsek ke ibukota Sumatera Utara.Lukman pun tak tinggal diam. Ia terjun langsung ke gerainya dan selalu menyapa pelanggan. Tak lupa pula menanyakan pendapat mereka tentang sajian sop sumsum. "Pesan mereka bisa menjadi bahan evaluasi bagi kami," tegasnya.Lantas, dia pun berusaha menyesuaikan citarasa sop sumsum sesuai dengan lidah pengunjungnya, yang tak hanya berasal dari Medan dan Aceh. "Ternyata, hasilnya positif. Lambat laun, kami punya penggemar," ujar Lukman.Omzet pun melonjak. Bahkan, sop sumsum kerap habis sebelum waktunya. Selanjutnya, ia mulai berpikir untuk membuka cabang baru untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Pria 55 tahun ini juga bilang, ke depan, ia akan mencoba untuk membawa Sop Sumsum Langsa masuk ke kota besar lain seperti Jakarta. Selain itu, ia juga berniat menawarkan waralaba untuk mengibarkan usahanya ke luar Sumatera. Dan, keinginan untuk menyasar penggemar sumsum di kota metropolitan ternyata bukan isapan jempol belaka. Untuk merealisasikannya, kini, ia sedang berkonsultasi dengan konsultan waralaba guna merancang dan menghimpun strategi untuk bisa bersaing di tengah hegemoni makanan yang ada di ibukota. "Mungkin tahun depan, kami mulai berekspansi ke Jakarta," ungkap Lukman.Meskipun mengusung merek daerah, Lukman tetap yakin usahanya tersebut akan berbuah manis. Apalagi, ia melihat sop sumsum langsa belum banyak disajikan oleh resto-resto yang banyak tersebar di Jakarta.(Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News