Lulut, mengolah limbah bakau menjadi pewarna batik



Lantaran ingin mempertahankan kelestarian hutan bakau di Rungkut, Surabaya, Lulut Sri Yuliani menciptakan batik mangrove. Batik ini menggunakan pewarna alami dari olahan limbah bakau. Tak hanya berkecimpung di kerajinan batik, dia juga mengembangkan berbagai usaha kecil berdasarkan potensi yang dimiliki suatu daerah di seluruh Indonesia.Selama ini, tanaman bakau yang terdapat di kawasan Rungkut menjadi salah satu bahan baku bagi beragam usaha kecil yang ada di Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, Surabaya. Bakau, antara lain, digunakan sebagai ragi dan pembungkus tempe, bahan pembuat sirup, dan pewarna batik.Pohon bakau memang tidak langsung memproduksi pewarna batik, melainkan dari limbah usaha kecil yang mengolah tanaman ini. Warna-warna yang dihasilkan limbah bakau antara lain hitam, coklat, merah, biru, ungu dan hijau. Beragam warna inilah yang kemudian menginspirasi Lulut Sri Yuliani untuk membuat batik mangrove (bakau) pada tahun 2007. Ia pun menyematkan nama Batik Seru pada batik mangrove buatannya. Baru dua tahun kemudian, wanita yang pernah menjadi pengajar ini mulai mensosialisasikan batik mangrove di Kecamatan Rungkut. Ia mengajak ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya turut serta membatik dengan menggunakan pewarna alami ini. Ada sekitar 94 orang yang tergabung dalam 25 kelompok pembatik di Kecamatan Rungkut. Mereka mengerjakan batik ini di rumah masing-masing, dan pewarnaan berpusat di Wisma Kedung Asem Indah.Saat ini, kurang lebih ada sekitar 100 pakem batik yang dipakai perajin. Para pembatik juga bisa mengembangkan atau mengombinasikan pakem-pakem itu.Lulut bilang, satu desain batik tak boleh dibuat hingga dua kali. Alhasil, batik mangrove benar-benar eksklusif karena setiap desain hanya dijual kepada satu orang. Bahkan, Lulut juga menyiapkan sertifikat yang menulis nama pemilik serta motif kain batik itu. Selain memanfaatkan bakau sebagai pewarna batik, Lulut menggunakan bagian dari bakau sebagai sabun untuk mencuci batik mangrove. Maklum, batik ini tidak bisa dicuci dengan deterjen biasa yang lebih keras.Rumah Batik Seru memiliki kapasitas produksi hingga 150 helai batik tulis dan 50 lembar batik kombinasi per bulan. Lulut mematok harga jual batik kombinasi Rp 100.000-Rp 200.000. Sedangkan harga batik tulis antara Rp 300.000 hingga Rp 1 juta per lembar kain. Saat ini, Batik Seru baru membidik pasar kalangan menengah ke atas. Namun, lanjut Luluk, bila sudah memiliki batik cap, Batik Seru juga akan mengembangkan ke pasar kelas menengah bawah. Tak hanya berbentuk kain, rencananya usaha ini juga akan memproduksi baju-baju batik untuk pasar kelas tersebut.Meski baru menyasar segmen tertentu, penjualan batik mangrove sudah tersebar ke seluruh Indonesia. Bahkan ada pembeli yang berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Singapura dan Australia. Biasanya, para pembeli batik mangrove ini harus memesan lebih dulu motif batik keinginannya. Dari penjualan kain batik mangrove, Lulut bisa mengantongi omzet antara Rp 25 juta hingga Rp 30 juta per bulan. "Uang hasil penjualan ini digunakan untuk membuka usaha baru, gaji karyawan, dan penanaman bakau," imbuhnya. Memang, ada alokasi dana sendiri untuk penanaman bakau. Dari setiap lembar kain batik mangrove yang terjual, Batik Seru akan menanam satu pohon bakau atas nama pembeli.Di Surabaya, Batik Seru sudah menanam 1.000 pohon bakau. Sedangkan di Medan 100 pohon, dan di Jakarta 300 pohon bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.Hingga kini, Lulut masih terus membuka pelatihan gratis untuk ibu-ibu dari keluarga miskin. Dengan pelatihan gratis ini, dia mengharapkan batik mangrove mampu meningkatkan taraf hidup keluarga miskin.Selama ini, Lulut memang lebih fokus pada pemberdayaan perempuan dan keluarga miskin yang ingin maju. Ia juga menerima karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), tapi ingin belajar dan berusaha. "Kami memberikan pengetahuan untuk membangun usaha tanpa modal dan UKM mandiri berbasis lingkungan," imbuhnya.Pelatihannya ini tak hanya diberikan untuk masyarakat miskin di sekitar Surabaya. Lulut melakukan hal yang sama di seluruh Indonesia, seperti di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatra Utara dan Aceh.Di masing-masing daerah itu, dia menciptakan produk unggulan yang sesuai dengan potensi budaya setempat. Baik itu berupa kerajinan atau produk makanan serta minuman.Misalnya di Kalimantan, dia menggunakan nipah sebagai bahan baku produk makanan. "Sebelumnya, kami melakukan survei budaya dan potensi sekitar terlebih dahulu, baru membuat resep unggulan, praktek dan buat olahannya," kata dia.Sejak tahun 2007 hingga kini, pemberdayaan perempuan dan lingkungan yang dilakukan Lulut sudah membuahkan hasil. Buktinya, pendapatan masyarakat Rungkut meningkat. Selain itu, Kelurahan Kedung Baruk menjadi kampung unggulan dan percontohan.Tak hanya batik, Kedung Baruk pun memiliki beberapa olahan yang lebih berkualitas dengan bahan baku mangrove. Sejak 2009, Lulut mengembangkan usaha tempe. "Tempe dari sini lebih gurih dan lebih tahan lama dari pada tempe biasa," ujar perempuan 45 tahun ini. Selain itu, dia memulai usaha pembuatan sirup dari mangrove sejak tahun ini. Dari sisi kesehatan, Lulut juga memproduksi rempah-rempah yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan sakit mag, dan antiradang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi