Golden Spike lolos dari jerat pailit



JAKARTA. PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) kini boleh tersenyum lega. Pasalnya majelis hakim Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan putusan pailit yang sebelumnya dijatuhkan Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat atas Golden Spike yang dimohonkan salah satu krediturnya PT Global Pacific Energy (GPE). Dengan putusan MA itu maka GSEI terbebas dari jerat kepailitan.

Berdasarkan situs resmi MA, putusan pembatalan pailit ini dijatuhkan majelis hakim Abdurrahman sebagai hakim ketua, I. Gusti Agung Sumanatha dan Mahdi Soroinda Nasution sebagai hakim anggota. Putusan ini dijatuhkan pada tanggal 21 Oktober 2014. "Amar putusan: Kabul," demikian bunyi putusan seperti dikutip dari situs resmi MA.

Kurator GSEI Edino Girsang mengaku belum mengetahui soal putusan tersebut. Soalnya hingga saat ini kurator belum mendapat pemberitahuan resmi dan apa saja pertimbangan hukumnya. Karena itu kurator akan mencari tahu kepastian putusan tersebut sebelum melangkah lebih jauh ke tahap pemberesan pailit.


"Kalau sampai tahap pemberesan, untuk sementara kami tunda dulu, sampai informasinya jelas," ujar Edino kepada KONTAN, Kamis (20/11).

Apalagi dalam amar putusannya, lanjut Edino, hanya disebutkan kabul, sehingga tidak cukup menjelaskan status pailitnya perusahaan yang dipimpin Maher Algadri ini.

Sementara itu, kuasa hukum GPE Yulius Setiarto mengaku belum mengetahui adanya putusan tersebut. Ia bilang seharusnya untuk putusan pailit yang sifatnya membatalkan perdamaian seharusnya tidak ada upaya kasasi lagi. "Jadi saya belum ada komentar dulu soal putusan ini," ujarnya.

Kuasa Hukum GSEI, Aldy Dio Bayu mengaku senang atas putusan tersebut. Ia bilang putusan MA ini sudah tepat. Sebab, hutang yang diklaim GPE kepada GSEI timbul dari kerjasama membuat perusahaan patungan atau joint operation body (JOB) dengan PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai.

"Jadi hutang yang timbul itu merupakan dari kerjasama JOB sehingga selayaknya ditanggung bersama-sama oleh rekanannya, dan bukan secara pribadi oleh GSEI sendiri," tutur Aldy.

Aldy menambahkan bahwa GSEI memiliki aset yang masih cukup untuk membayar para krediturnya, maka seharusnya tidak perlu pailit. Di sisi lain, Aldy bilang tidak seharusnya PHE sebagai rekanan malah mengajukan diri sebagai kreditur konkuren yang justru berakibat mengingingkan GSEI pailit

Apalagi, kata Aldy, sampai saat ini, PHE masih menahan hasil lifting GSEI senikai US$ 7 juta. Uang tersebut seharusnya bisa digunakan untuk membayar hutang GSEI. "Maka sudah sepatutnya pailit tersebut dicabut karena kami masih berkompeten untuk membayar dan menyelesaikan, terang Aldy.

Sebelumnya, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan GPE membatalkan perdamaian karena perusahaan kontraktor tambang tersebut tidak membayar utangnya sebesar US$ 644,099,18 atau setara Rp 6,2 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa