Maaf, Pemerintah Tidak akan Menerima Pendanaan Hijau dengan Bunga Tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mewanti-wanti tidak akan menerima pendanaan transisi energi skema kerja sama transisi energi yang adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) jika bunganya terlalu tinggi. 

Sebagai informasi, JETP merupakan salah satu skema pendanaan transisi energi senilai US$ 20 miliar yang akan dimobilisiasi 3 tahun sampai 5 tahun ke depan. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan, jika bunga dari pinjaman komersial di JETP ini terlalu besar, Indonesia tentu tidak mau menerima.


“Kalau bunganya terlalu besar kita enggak mau, kita kan punya funding yang lain. Kita ingin untuk carbon emission reduction itu ditujukan negara ini dengan transition finance dengan bunga yang lebih murah dengan financing yang lebih terjangkau, itu komitmen yang kita harapkan,” ujarnya saat ditemui di sela acara The 9th Indonesia International Geothermal Cinvention & Exhibition di JCC Jakarta, Rabu (20/9). 

Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Emiten Energi di Tengah Kenaikan Harga Minyak dan Batubara

Febrio memaparkan, pendanaan JETP akan keluar untuk proyek demi proyek. Dia menjelaskan, jangan dibayangkan pendanaan JETP merupakan uang yang gratis sebab ini bagian dari kolaborasi Indonesia dengan global untuk menurunkan emisi. 

“Indonesia punya komtimen untuk investasi hijau dan pembangkit hijau, tetapi investasi ini juga butuh tingkat pengembalian,” ujarnya. 

Maka itu, Indonesia dan global bersama-sama menentukan komitmen penurunan emisi karbon dalam bentuk pembiayaan yang lebih terjangkau. 

Febrio menjelaskan, reduksi emisi karbon di Indonesia merupakan barang publik dan keuntungannya untuk seluruh masyarakat. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia juga memastikan bagaimana bentuk partisipasi global. 

“Nah itu ditunjukan dengan negosiasi bahwa kita punya proyek yang akan menguntungkan seluruh dunia mari kita biayai bersama sama,” ujarnya. 

Dia menegaskan, pemerintah ingin negara yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) menunjukkan komitmen yang lebih kuat untuk membiayai proyek hijau tidak hanya satu demi satu, tetapi setara yakni satu paket yang ingin diinvestasikan. 

Chairman Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Bambang Brodjonegoro menyatakan, Indonesia harus melakukan negosiasi dengan pihak yang terlibat dalam skema JETP, khususnya perihal komposisi pendanaan dan nominal hibah yang saat ini masih sangat mini. 

Asal tahu saja,berdasarkan pemaparan Kementerian ESDM sebelumnya, porsi hibah dari skema pendanaan JETP hanya US$ 160 juta. 

Bambang menyatakan, Kementerian ESDM harus menegosiasikan porsi pendanaan di mana porsi pembiayaan ekuitas harus lebih besar dibandingkan pembiayaan utang. 

Pembiayaan ekuitas ialah proses peningkatan modal melalui penjualan saham di suatu perusahaan. Sedangkan pembiayaan utang ialah meningkatkan jumlah utang dengan cara menerbitkan surat utang jangka panjang, semisal obligasi atau surat utang lainnya. 

Baca Juga: Butuh Investasi US$ 20 Miliar per Tahun Buat Mengejar Target Lifting Migas

“Jangan sampai, paling gampang, ada pinjaman misalnya bunganya sekian tetapi gampang diakses kalau proyek renewable. Nanti kita akhirnya jadi pembicaraan seolah-olah Indonesia mau transisi energi tetapi menambah utang,” ujarnya dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, di Jakarta, Senin (18/9). 

Sejalan dengan ini, dia menilai, seharusnya porsi hibah dalam JETP harus ditambah karena bagaimanapun investor berminat masuk ketika ada dukungan atau jaminan dari pemerintah. 

“Bisa berupa grant (hibah) supaya prosesnya mulus, itu yang penting dari sisi financing,” tegasnya. 

Sebelumnya Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah meningaktkan porsi hibah minimal 10%-15% atau sebesar US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar dari JETP. 

Poin kedua, ICEF mengusulkan agar pendanaan JETP dapat mengalir ke berbagai jenis pembangkit, tidak hanya untuk surya dan angin saja. 

Bambang memaparkan, potensi tenaga angin di Indonesia terbatas hanya di beberapa wilayah saja. Begitu juga dengan tenaga matahari atau surya  yang masih menghadapi beberapa hambatan berupa faktor cuaca dan kelembapan suatu wilayah. 

Mengingat adanya keterbatasan di dua pembangkit itu, Bambang menyatakan, dana JETP bisa dengan adil didistribusikan ke pembangkit energi terbarukan lain seperti biomassa dan air (hidro). Kata Bambang, dua jenis pembangkit tersebut potensi energinya cukup besar di Indonesia. 

Poin ketiga, Indonesia perlu mempersiapkan transmisi untuk masuk ke era listrik hijau. Bambang menjelaskan, sifat listrik energi terbarukan berbeda dengan fosil seperti batubara dan gas. 

“Kalau batubara sama gas kelebihannya, bahan bakunya bisa dapat dari wilayah lain. Misalnya batubara dari Kalimantan lalu dikirim untuk pembangkit di Jawa. Kalau tenaga surya, angin, hidro kan tidak bisa, listriknya harus yang dikirimkan,” terangnya. 

Baca Juga: Pelaku Usaha Panas Bumi Perlu Terobosan Regulasi, Ini Salah Satunya

Oleh karenanya, diperlukan pendanaan yang mumpuni untuk membiayai proyek transmisi antar pulau di Indonesia. Bambang melihat, dibutuhan investasi yang sangat besar untuk membangun sistem kelistrikan nasional. 

Sebagai negara kepulauan, proyek transmisi membutuhkan dana yang besar karena akan banyak dibangun kabel bawah laut (submarine cable). 

“Pendanaan untuk transmisi ini tidak kalah penting dan besarannya tidak kalah dengan energi transisi itu sendiri,” tandasya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi