MOMSMONEY.ID - Kenapa membeli madu dari Selandia Baru, kalau madu dari hutan Indonesia lebih bergizi? Kenapa belanja baju bermerek dari Eropa, kalau baju dari wastra Nusantara begitu cantik dan stylish? Produk lokal sudah terbukti punya kualitas yang bagus. Apalagi, pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menggalakkan gerakan Bangga Buatan Indonesia, karena memang #IndonesiaBikinBangga. Lebih jauh lagi, asosiasi pemerintah kabupaten untuk pembangunan lestari, yaitu Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) aktif mempromosikan produk kabupaten yang bukan hanya diproduksi secara lokal. Melainkan produk lokal yang lestari. Artinya, produk tersebut bersifat ramah lingkungan dan ramah sosial. Dari sisi lingkungan, proses pembuatan dari hulu ke hilir tidak membahayakan lingkungan hidup. Bahan bakunya pun diambil dari alam yang terjaga dengan baik. Sementara itu, dari sisi sosial, produk tersebut bisa membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di lingkungan lokasi usaha.
Baca Juga: Kangen Liburan? Coba Festival Jelajah dari Rumah Bagu yang penasaran produk apa saja di Gerai Kabupaten Lestari, ini lima produk yang bisa Anda beli. 1. Madu Hutan Milanka dan Nahla Madu telah menjadi bagian dari keseharian Elly Husin, jurnalis dan penggemar aktivitas olahraga outdoor. Demi menjaga kesehatan, ia sudah lama mengganti gula dengan madu. Penggemar produk lokal yang senang minum es teh dan es kelapa ini, pasti mencampurkan madu ke dalam minuman tersebut. Paling tidak ia juga minum madu dua sendok makan setiap hari. Elly, yang suka hunting produk madu, jatuh hati pada Madu Milanka. Menurutnya, madunya cair dan ada aroma buah-buahan yang segar. Ia percaya bahwa Madu Milanka memang merupakan madu dari hutan liar. “Banyak produsen yang mengklaim bahwa madunya murni 100%. Tapi, dari pengalaman, ternyata banyak madu yang dicampur dengan bahan lain, seperti gula. Bukannya sehat, bisa-bisa kita malah kena diabetes. Saya suka madu hutan karena kandungan gizinya lebih tinggi dibandingkan madu jenis lain, sehingga manfaatnya juga lebih bagus. Bangga banget, deh, saya pada produk ini,” katanya. Selain Madu Milanka yang berasal dari Bangka dan Riau, ada pula Madu Nahla yang berasal dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Wahyudi Hidayat, Wakil Bupati Kapuas Hulu, menjelaskan, madu hutan merupakan salah satu produk yang masuk kategori Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan menjadi produk unggulan Kabupaten Kapuas Hulu. Melihat potensi ekonomi di baliknya, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu bersama pegiat pelaku usaha madu hutan kemudian membentuk sentra wirausaha produksi dan pemanfaatan HHBK komoditas madu hutan. Salah satu jenis yang dikembangkan adalah madu tikung (salah satu jenis madu di Kapuas Hulu) yang tidak merusak lingkungan. Sejak dulu para petani menerapkan Sistem Panen Madu Lestari (SPML) yang bertujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi madu. “Potensi Kapuas Hulu sebagai salah satu cagar biosfer di Indonesia sangat beragam, khususnya dari komoditas HHBK, seperti madu hutan, karet, tengkawang, maupun ubi kayu, perikanan, dan kriya, sangat menarik. Beberapa bulan lalu kami telah menyepakati model pengembangan bisnis/ekonomi berkelanjutan dengan berbagai pihak termasuk para pelaku UMKM di Kabupaten Kapuas Hulu,” kata Wahyudi.
Baca Juga: Masuk Dalam Program Vaksinasi UNICEF, Oneject Ekspor Alat Suntik 2. Gula Semut Aren PalmGo Di daerah Gorontalo terdapat 164.000 pohon aren produktif. Namun, kebanyakan petani mengolahnya menjadi gula merah yang harganya relatif rendah atau menjadi minuman keras. Akibatnya, mereka harus menghadapi kasus hukum karena produk yang mereka hasilkan dinilai ilegal. Melihat kejadian tersebut, banyak orang yang mengalami PHK akibat pandemi. Roni Nopo, Direktur Gula Semut PalmGo, pun mencari cara untuk membantu mereka, sekaligus mengolah potensi aren secara lestari. Timbullah ide memproduksi gula semut. Melalui berbagai pendekatan dan sosialisasi kepada para petani aren, ia memberi pilihan kepada mereka: mengubah produksi atau berhadapan dengan hukum. “Mau tidak mau mereka mengubah produksi dan kami beri fasilitas berupa alat produksi. Kami juga yang akan menjadi pasar pertama para petani, menjamin produk mereka, serta mendampingi dalam hal cara produksi,” kata Roni, yang sudah merangkul 55 petani dan mempekerjakan 12 pegawai. Ia menjelaskan, lokasi pohon aren yang kini dimanfaatkan jauh dari pemukiman petani. Jadi selain memanen dari pohon liar, sekarang para petani ini juga dianjurkan untuk menanam dan merawat pohon-pohon aren. Dengan begitu, jumlah produksi mereka meningkat. Roni pun tak segan setiap hari mendatangi dan mengawasi petani. Dilihat dari segi rasa dan khasiat, gula semut PalmGo sama seperti gula lain. Hanya saja, produk mereka tidak menggunakan pengawet kimia sintetis, melainkan pengawet herbal alami dari akar kayu, kulit kayu, dan buah-buahan. Dari hasil uji BPOM, kadar airnya hanya 0,2% sehingga produk PalmGo lebih kering dan renyah. Kemasannya pun cantik. 3. Bunga Telang Picnic Village Bunga telang (Clitoria ternatea) sedang sangat menarik di kalangan masyarakat. Makin banyak kafe yang meracik minuman dari jenis bunga tersebut. Tumbuh liar di negeri ini, bunga telang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku usaha teh telang kering. Seperti yang dikerjakan oleh UMKM Istana Datin Anom, Kampung Siak Merambai, Kecamatan Bungaraya, Riau. Agar bahan baku untuk produksi tidak cepat habis, pelaku usaha yang melabeli produknya dengan nama Picnic Village ini membudidayakan bunga telang secara organik di pekarangan rumah. Bunga tersebut dikeringkan tanpa kehilangan warna aslinya, dikemas cantik, dan siap diseduh. Elly menyebutkan, produk ini sangat praktis. Ia terkadang memetik bunga telang dari tanaman yang tumbuh merambat di pagar rumahnya sendiri. Tapi, karena sudah ada produk bunga telang yang dikeringkan, ia tak lagi harus menunggu bunga di rumahnya mekar. “Awalnya, sih, minum seduhan bunga telang karena suka dengan warnanya yang biru keunguan. Selain dijadikan minuman, kadang saya buat puding, dicampur leci dan strawberry. Karena tinggi antioksidan, maka banyak manfaat yang bisa saya petik juga. Imunitas saya jadi sangat bagus, kulit pun jadi lebih halus dan lembap. Plus, telang punya kandungan gizi yang berguna untuk pertumbuhan rambut,” kata Elly.
Baca Juga: Rahasia di Balik Keindahan Tanaman Hias Lidah Mertua 4. Kain Gambo Muba Motif jumputan ternyata bukan milik Solo dan Yogyakarta semata. Sumatra Selatan pun punya Jumputan Gambo Muba dari Kabupaten Musi Banyuasin. Kain ikat celup jumput ini menggunakan pewarna alami dari sisa ekstraksi gambir, sejenis tanaman perdu yang hidup tumpang sari antara perkebunan karet. Petani di Desa Toman biasanya memetik daun gambir pada pagi hari, lalu memulai proses ekstraksi daun gambir untuk dijadikan pewarna alami. Proses pewarnaan kain gambo muba diawali dari proses mordan, yaitu merebus kain dengan 20 liter air, 300 gram air tawas, dan 100 gram soda abu. Setelah itu, kain dikeringkan secara alami, lalu dijumput oleh para perajin. Inovasi motif jumputan gambo muba terus berkembang. Namun, satu motif yang khas adalah motif titik tujuh, yaitu motif jumputan khas Sumatra Selatan yang menurut budayawan melambangkan tujuh aliran sungai yang mengaliri provinsi ini, atau juga terkait filosofi tujuh tingkatan surga. Karakteristik pewarna gambir ini sangat lekat dengan bahan kain yang mengandung serat alam, seperti katun, rayon, dan sutra, atau serat organik yang berasal dari serat eukaliptus. Karena menggunakan pewarna alami, tentu kain gambo menjadi produk yang ramah lingkungan. Pewarna dari ekstraksi daun gambir ini menghasilkan warna yang unik dan berbeda di setiap kain, sehingga tidak ada kain yang warna dan motifnya sama persis. Tak hanya dipasarkan dalam bentuk kain, para perajin UMKM Jumputan Gambo Sugih Toman yang tinggal di Desa Toman, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, membuat pakaian jadi dalam bentuk abaya, jaket, dan juga masker. Cantik-cantik sekali. 5. Anyaman Bambu Rotan Hutan Kalimantan yang terkenal masih liar, menyimpan potensi besar untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Inilah mengapa masyarakat Dayak terus dihimbau untuk menjaga hutan. Selain mengambil hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan, mereka bisa mengambil bambu rotan untuk dijadikan produk yang dipasarkan dengan nilai yang tinggi.
Para perempuan Dayak yang tergabung dalam Koperasi Jasa Menenun Mandiri menggunakan rotan bambu berkualitas tinggi dan menganyamnya menjadi berbagai jenis produk, termasuk tas. Bahan pewarnanya pun mereka ambil dari hutan. Misalnya, untuk warna hitam mereka menggunakan daun pararau, sementara untuk warna merah mereka memakai daun jati muda. Menariknya, setiap anyaman memiliki makna motif tersendiri yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Dayak.
Baca Juga: Waspada! 5 Bahaya Jika Sering Mengonsumsi Junk Food Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Jane Aprilyani