Jakarta, Ibarat kentut, keberadaan mafia migas tak kentara oleh khalayak umum. Tapi dampaknya, teramat menyesakkan. Sektor minyak dan gas (migas) Indonesia, dari hulu hingga ke hilir, dikuasai mereka, dengan memanfaatkan kekuasaan dan celah dalam aturan. Akibatnya sungguh fatal. Cadangan migas Indonesia tak banyak bertambah. Produksi migas yang terus turun, kata pengamat energi Pri Agung Rakhmanto, salah satunya karena akumulasi aksi mafia selama bertahun-tahun. Fasilitas kilang pengolahan minyak mentah, misalnya, setelah 10 tahun Pertamina akhirnya baru akan menambah kapasitas dari 820.000 barrel per hari (bph) menjadi menjadi 1,68 juta bph. Harap catat baik-baik, baru akan, ya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyebut, dirinya tidak memiliki bukti soal siapa mafia migas yang menyebabkan modernisasi dan penambahan kapasitas kilang tak berjalan sebelumnya. Cuma, faktanya, terjadi penundaan dan pembiaran yang membuat cadangan bahan bakar minyak (BBM) kita makin terbatas dan ketergantungan terhadap impor semakin besar. Kalau posisi setoknya mepet terus-menerus, ya, tentu saja harganya dimainkan oleh pasar. Itu, kan, sebenarnya kerugian yang didesain, kata Sudirman. Toh, Pertamina berkilah, pembangunan kilang yang lambat lantaran keterbatasan anggaran. Manajer Media Pertamina Adiatma Sardjito menyatakan, perusahaannya mengutamakan bisnis di sektor hulu yang menghasilkan untung lebih besar. Baru setelah itu bisa membangun dan memperluas kapasitas kilang. Masih soal impor minyak, ulah mafia migas sejatinya sangat kentara dalam proses pengadaan, sehingga pembelian minyak untuk kebutuhan dalam negeri sangat tergantung kepada broker. Padahal, banyak produsen yang bersedia menjual minyaknya langsung ke Indonesia. Sudirman mengungkapkan, seorang petinggi salah satu perusahaan minyak besar datang kepadanya. Dia bilang, belasan tahun mau berdagang langsung dengan Pertamina tidak bisa. Minyak kami harus diputar-putar dulu baru sampai ke Pertamina, ujarnya. Cerita lainnya datang dari Menteri Perminyakan Brunei Darussalam. Meski Brunei tetangga dekat dan berstatus produsen minyak, Pertamina malah membeli minyak dari tempat lain. Menteri Perminyakan Brunei bilang, kami tidak pernah ditengok untuk dimintai minyak oleh Pertamina, ungkap Sudirman. Jual-beli blok migas Lalu, salah satu skema yang kini menjadi sorotan adalah praktik jual-beli blok migas. Sudirman mengatakan, banyak pihak yang memperdagangkan konsesi migas tanpa niat untuk mengelolanya dengan baik. Praktik jual-beli blok migas sejatinya hal yang lumrah dalam bisnis minyak dan gas bumi. Masalahnya, aksi semacam ini nyaris tanpa kontrol. Catatan KONTAN, biasanya para kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) lebih dulu mengikat perjanjian jual-beli blok migas. Setelah itu, dalam tempo beberapa bulan barulah pemerintah menyetujui aksi korporasi itu. Alhasil, persetujuan pemerintah tersebut terkesan hanya formalitas belaka. Jika yang diperjualbelikan blok migas yang sudah berproduksi, masih bisa ditolerir, sepanjang pemegang hak partisipasi alias participating interest (PI) yang baru memiliki komitmen dan kemampuan untuk menjaga, bahkan mendongkrak volume produksi migas. Masalahnya, blok eksplorasi bahkan yang belum dijamah sekali pun sudah diperdagangkan. Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan, dari 320 KKKS yang beroperasi, hanya 10 kontraktor yang berkomitmen melakukan eksplorasi, demi mendapatkan cadangan minyak dan gas baru. Agus Cahyono Adi, Direktur Pengelolaan Program Migas Kementerian ESDM enggan mengomentari aksi pemburu rente dalam jual-beli blok migas. Yang jelas, tidak ada aturan yang melarang praktik tersebut. Alhasil, pihaknya tidak bisa mengatur transaksi bisnis ini. Aturannya, kan, sudah jelas semua. Yang mengajak jual- beli blok siapa, kan, kami enggak bisa atur, kilah Agus. Cuma, Lukman Mahfoedz, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), menyatakan, pemerintah hendaknya menunjuk kontraktor yang berkomitmen dan memiliki kapabilitas, bukan hanya sekadar mengejar jumlah blok yang diteken. Kualitas komitmen dari kontraktor juga dilihat, apa dia punya duit buat untuk eksplorasi dan lain-lain tidak, katanya. Haposan Napitupulu, Penasihat Ahli Kepala SKK Migas, menambahkan, pemilihan pemenang tender mestinya diklasifikasi berdasarkan risiko finansial pengelolaan blok. Misalnya, blok-blok yang berisiko tinggi diberikan hanya kepada pemain besar. Dengan begitu, jika KKKS tidak berhasil menemukan cadangan migas yang memadai, kontraktor itu masih bisa menutup kerugian dari keuntungan blok migasnya yang lain. Sedangkan untuk blok migas yang secara bisnis berisiko rendah diprioritaskan untuk perusahaan nasional. Janganlah Exxon Mobile bertarung dengan perusahaan markisa. Exxon pasti kalah karena lawannya enggak pakai hitung-hitungan. Tapi, begitu menang, bloknya enggak diapa-apakan, ujar Haposan. Tapi, pemerintah tidak berdiam diri. Fahmi Radi, anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, menuturkan, pihaknya telah mengkaji praktik jual-beli blok migas. Persoalannya, Undang-Undang (UU) Migas kita sangat liberal. Jadi, memungkinkan banyak masuk trader, baik yang bonafide maupun yang tidak punya infrastruktur. Mereka memburu rente, memanfaatkan kedekatan dengan penguasa, kata Fahdi. Untuk itu, tim yang diketuai Faisal Basri tersebut bakal mengevaluasi aturan main dan mekanisme tender blok migas yang selama ini dilakoni. Termasuk mengajukan rekomendasi revisi UU Migas agar bebas dari para pemburu rente. Dipicu disparitas harga Mafia betul-betul masuk ke semua sendi sektor migas kita. Penyaluran BBM bersubsidi menjadi arena pesta-pora para maling. Di atas kertas, volume penyaluran BBM bersubsidi tahun ini mencapai 46 juta kiloliter. Namun, menurut anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas lainnya Djoko Siswanto, tidak ada yang tahu berapa banyak yang benar-benar sampai ke tangan masyarakat. Penyalahgunaan BBM bersubsidi memang masif. Pelakunya dari pemain kelas yang menggunakan jeriken ukuran belasan liter hingga mafia terorganisir yang menggunakan kapal tanker berbobot puluhan ton. Motifnya satu: memanfaatkan disparitas antara harga premium dan solar bersubsidi dengan BBM nonsubsidi. Ambil contoh, pada 1 Agustus 2014 harga solar bersubsidi Rp 5.500 per liter. Di saat yang bersamaan, harga Pertamina Dex (pertadex) di Jakarta mencapai Rp 13.150 seliter. Artinya, ada selisih harga sebanyak Rp 7.650 per liter. Jika solar bersubsidi dijual Rp 10.000 per liter saja, banyak pelaku usaha yang berebut membeli. Alhasil, sepanjang Januari hingga November 2014 lalu, polisi mengungkap 350 kasus penimbunan BBM bersubsidi dengan 392 tersangka. Para pelaku menjual minyak ke industri maupun diselundupkan ke negara tetangga, seperti ke Timor Leste dan Singapura. Setelah harga BBM bersubsidi naik pertengahan November lalu, disparitas harga memang menipis. Namun, penyalahgunaan BBM bersubsidi masih tetap terjadi. Contohnya, polisi menangkap tiga truk tangki yang mengangkut sekitar 50 ton BBM bersubsidi yang diduga diperoleh secara ilegal di Jambi, (10/12). Selama masih ada disparitas harga, penyalahgunaan BBM bersubsidi akan tetap ada, tegas Pri Agung. Masalahnya, disparitas harga BBM tak akan bisa dihilangkan. Berdasar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Migas, pemerintah wajib menyediakan BBM bersubsidi untuk konsumen di dalam negeri. Upaya untuk mengendalikan penyalahgunaan BBM pun digagas dan dikaji. Singkat cerita, lewat Peraturan BPH Migas Nomor 6 Tahun 2013, Pertamina pun menggelar program Sistem Monitoring dan Pengendalian BBM memanfaatkan teknologi Radio Frequency Identification (RFID). Tender pengadaan RFID dimenangkan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti). Perusahaan pelat merah yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, itu bakal menyediakan 100 juta unit RFID yang dipasang di kendaraan dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Inti lantas menggandeng perusahaan Korea, Global Optical Communication Co., Ltd mendirikan PT Inti Global Optical Communication Indonesia. Perusahaan patungan ini mendirikan pabrik RFID di Bandung dan beroperasi Maret 2014. Menurut keterangan resmi Inti, hingga 6 Agustus 2014 mereka telah memasang 352.641 RFID di Jakarta, plus instalasi di 254 SPBU di Ibukota RI. Tapi, belakangan proyek ini malah jalan di tempat. Program RFID masih jalan tapi kemajuannya belum berarti. Sampai sekitar dua bulan yang lalu baru terpasang di 300.000400.000 kendaraan, kata Adiatma. Menurut Adiatma, kerjasama dengan Inti merupakan kontrak jasa, bukan barang. Singkatnya, kalau RFID sudah terpasang di dua juta kendaraan dan sistemnya berjalan, barulah Pertamina membayar tagihan kepada Inti. Fee yang didapat Inti sebesar Rp 18 per liter dari setiap penjualan BBM di SPBU. Nah, Inti disebut-sebut mengalami masalah keuangan lantaran pelemahan nilai tukar rupiah sehingga proyek ini terhambat. Tapi, Djoko punya cerita lain. Menurutnya, ketika program RFID tengah berjalan, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) disuruh menghentikan program tersebut dan diganti dengan skema kartu BBM noncash. Ini, kan, ada permainan mafia supaya RFID enggak jalan. Kalau jalan, enggak bakal ada BBM subsidi lari ke industri, kata bekas Direktur BBM BPH Migas ini.
Sayang, Djoko tak bersedia mengungkapkan, siapa yang menekan BPH Migas untuk menghentikan program RFID. Saya enggak bisa sebut namanya, tapi ada yang bisikin. Yang bisikin, ya, pemburu rente itu. Kan, dia biasanya mendekati pejabat, bebernya. Mafia migas memang enggak ada matinya. Gawat! ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 12 - XIX, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander