JAKARTA. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Didin S Damanhuri menyatakan bahwa kasus mafia pajak lebih dahsyat ketimbang kasus Century. Didin pun menjabarkan sekitar Rp 360 triliun uang pajak hilang setiap tahunnya. "Indonesia saat ini hanya menerima 11%-an pajak, padahal seharusnya itu bisa sampai 17%-an diterima Indonesia. Artinya sekitar 6% pajak hilang atau bisa dikatakan setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar Rp 360 triliun. Kami melihat kasus mafia pajak jauh maha dahsyat ketimbang kasus Century," papar Didin saat diskusi dengan DPD dalam tema Memberantas Mafia Pajak, di Gedung DPR Nusantara V, Jumat (25/2). Didin pun merinci, dana pajak yang hilang paling besar itu dikembalikan lagi ke perusahaan wajib pajak. Sedangkan, sisanya lari ke kantong para politisi atau parpol dan terakhir ke para konsultan pajak. "Saya contohkan dari Rp 1 triliun yang harusnya dibayar perusahaan wajib pajak, hanya Rp 300 miliar yang dibayarkan ke Dirjen Pajak. Sementara Rp 500 miliar dikembalikan lagi ke perusahaan dan Rp 200 miliar sisanya diberikan ke konsultan pajak sebagai fee karena berhasil menekan biaya pajak perusahaan," imbuhnya. Menurut Didin, wajar saja bila kasus mafia pajak terungkap maka akan mengganggu stabilitas negara. Ia pun meneruskan, karena sejak lama mafia pajak telah banyak melibatkan para pejabat tinggi. Didin pun ikut menyayangkan dengan gagalnya hak angket mafia pajak. "Saya setuju dengan hak angket karena bisa lebih memudahkan pemetaan siapa saja yang berpotensi menyelewengkan pajak. Kami melihat persoalan raksasa adalah masalah mafia pajak, saya harap nanti temuan pansus akan maksimal dan bisa diterbitkan, bagaimana peta mafia pajak ini agar publik bisa mengetahui tentu sangat menolong," tutupnya.
Mafia pajak jauh lebih dahsyat dari Century
JAKARTA. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Didin S Damanhuri menyatakan bahwa kasus mafia pajak lebih dahsyat ketimbang kasus Century. Didin pun menjabarkan sekitar Rp 360 triliun uang pajak hilang setiap tahunnya. "Indonesia saat ini hanya menerima 11%-an pajak, padahal seharusnya itu bisa sampai 17%-an diterima Indonesia. Artinya sekitar 6% pajak hilang atau bisa dikatakan setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar Rp 360 triliun. Kami melihat kasus mafia pajak jauh maha dahsyat ketimbang kasus Century," papar Didin saat diskusi dengan DPD dalam tema Memberantas Mafia Pajak, di Gedung DPR Nusantara V, Jumat (25/2). Didin pun merinci, dana pajak yang hilang paling besar itu dikembalikan lagi ke perusahaan wajib pajak. Sedangkan, sisanya lari ke kantong para politisi atau parpol dan terakhir ke para konsultan pajak. "Saya contohkan dari Rp 1 triliun yang harusnya dibayar perusahaan wajib pajak, hanya Rp 300 miliar yang dibayarkan ke Dirjen Pajak. Sementara Rp 500 miliar dikembalikan lagi ke perusahaan dan Rp 200 miliar sisanya diberikan ke konsultan pajak sebagai fee karena berhasil menekan biaya pajak perusahaan," imbuhnya. Menurut Didin, wajar saja bila kasus mafia pajak terungkap maka akan mengganggu stabilitas negara. Ia pun meneruskan, karena sejak lama mafia pajak telah banyak melibatkan para pejabat tinggi. Didin pun ikut menyayangkan dengan gagalnya hak angket mafia pajak. "Saya setuju dengan hak angket karena bisa lebih memudahkan pemetaan siapa saja yang berpotensi menyelewengkan pajak. Kami melihat persoalan raksasa adalah masalah mafia pajak, saya harap nanti temuan pansus akan maksimal dan bisa diterbitkan, bagaimana peta mafia pajak ini agar publik bisa mengetahui tentu sangat menolong," tutupnya.