TOKYO. Kekesalan Yusril Ihza Mahendra karena keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Pemilihan Presiden baru berlaku pada Pemilu 2019, dinilai bermuatan politis.Bahkan, Mantan Ketua MK Mahfud MD menilai, Yusril marah terkait hal tersebut karena ada kepentingan politiknya yang terganggu."Dia (Yusril) marah karena keputusan MK itu baru diberlakukan tahun 2019. Karena keputusan MK tentang UU Pilpres itu merupakan kepentingan politiknya," kata Mahfud MD kepada Tribun, saat di Jepang, Senin (27/1/2014).Mahfud menjelaskan, orang yang kali pertama mengajukan uji materiil terhadap UU Pilpres itu adalah Fadil Nurahman.Pada tahun 2009 silam, Fadil meminta MK mengajukan judicial review terhadap UU itu agar calon presiden tidak hanya bisa diajukan partai politik, tapi juga dari jalur perseorangan atau independen.Namun, kata Mahfud yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua MK, permintaan Fadil itu ditolak. "Alasannya, menurut UUD 1945, calon presiden diajukan partai politik. Jadi kalau mau mengubahnya, harus ubah UUD dulu," imbuhnya.Setelah Fadil, baru Yusril mengajukan permohonan agar pilpres tidak memakai sistem threshold partai politik di parlemen. Yusril meminta MK menurunkan persenase threshold parpol yang berhak mengajukan capres."Tapi, MK tak bisa kalau menentukan angka. Itu kan urusan DPR berdasarkan kebijakan hukum terbuka. Kalau terbuka, pasti konstitusional dan ketentuan politiknya berubah dari 20 jadi 5 persen, misalnya, itu jelas urusan politik dan urusan DPR bukan urusan MK, makanya MK menolak," tuturnya.Selanjutnya, terus Mahfud, ada permohonan dari berbagai LSM agar calon presiden bisa diajukan organisasi massa, ketua adat dan sebagainya. "Hal ini jelas semakin tidak ada dasar hukumnya."Kemudian, baru ada permohonan dari Effendi Gazali yang memunyai alasan baru dan masuk akal, yakni pemilihan anggota legislatif dan presiden harus digelar secara serentak."Menurut sejarah perumusan UUD, pemilihan presiden dan wakil presiden bersama pemilihan DPR itu satu paket, sama serentak. Benar. Maka, saat saya jadi Ketua MK, 26 maret 2013, sudah saya putus dan harus segera disampaikan ke publik ini karena permintaannya dikabulkan, dan kini sudah ada putusan," jelasnya.(Richard Susilo)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mahfud MD: Yusril marah karena ada kepentingan
TOKYO. Kekesalan Yusril Ihza Mahendra karena keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Pemilihan Presiden baru berlaku pada Pemilu 2019, dinilai bermuatan politis.Bahkan, Mantan Ketua MK Mahfud MD menilai, Yusril marah terkait hal tersebut karena ada kepentingan politiknya yang terganggu."Dia (Yusril) marah karena keputusan MK itu baru diberlakukan tahun 2019. Karena keputusan MK tentang UU Pilpres itu merupakan kepentingan politiknya," kata Mahfud MD kepada Tribun, saat di Jepang, Senin (27/1/2014).Mahfud menjelaskan, orang yang kali pertama mengajukan uji materiil terhadap UU Pilpres itu adalah Fadil Nurahman.Pada tahun 2009 silam, Fadil meminta MK mengajukan judicial review terhadap UU itu agar calon presiden tidak hanya bisa diajukan partai politik, tapi juga dari jalur perseorangan atau independen.Namun, kata Mahfud yang kala itu masih menjabat sebagai Ketua MK, permintaan Fadil itu ditolak. "Alasannya, menurut UUD 1945, calon presiden diajukan partai politik. Jadi kalau mau mengubahnya, harus ubah UUD dulu," imbuhnya.Setelah Fadil, baru Yusril mengajukan permohonan agar pilpres tidak memakai sistem threshold partai politik di parlemen. Yusril meminta MK menurunkan persenase threshold parpol yang berhak mengajukan capres."Tapi, MK tak bisa kalau menentukan angka. Itu kan urusan DPR berdasarkan kebijakan hukum terbuka. Kalau terbuka, pasti konstitusional dan ketentuan politiknya berubah dari 20 jadi 5 persen, misalnya, itu jelas urusan politik dan urusan DPR bukan urusan MK, makanya MK menolak," tuturnya.Selanjutnya, terus Mahfud, ada permohonan dari berbagai LSM agar calon presiden bisa diajukan organisasi massa, ketua adat dan sebagainya. "Hal ini jelas semakin tidak ada dasar hukumnya."Kemudian, baru ada permohonan dari Effendi Gazali yang memunyai alasan baru dan masuk akal, yakni pemilihan anggota legislatif dan presiden harus digelar secara serentak."Menurut sejarah perumusan UUD, pemilihan presiden dan wakil presiden bersama pemilihan DPR itu satu paket, sama serentak. Benar. Maka, saat saya jadi Ketua MK, 26 maret 2013, sudah saya putus dan harus segera disampaikan ke publik ini karena permintaannya dikabulkan, dan kini sudah ada putusan," jelasnya.(Richard Susilo)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News