Majelis hakim tolak keberatan Anggoro Widjojo



JAKARTA. Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, memutuskan menolak nota keberatan (eksepsi) diajukan oleh terdakwa kasus dugaan suap Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan (kini Kementerian Kehutanan), Anggoro Widjojo.

Ketua Majelis Hakim Nani Indrawati menyatakan materi eksepsi diajukan mantan Direktur PT Masaro Radiokom itu tidak tepat. Hal tersebut disampaikan Hakim Ketua Nani saat persidangan dengan agenda pembacaan putusan sela terdakwa Anggoro di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/5).

"Mengadili. Menolak nota keberatan dari tim penasehat hukum terdakwa. Menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum sah sebagai dasar melanjutkan pemeriksaan perkara," kata Hakim Ketua Nani.


Sebelumnya, salah satu penasihat hukum Anggoro, Thomson Situmeang dalam eksepsinya mengatakan dakwaan Anggoro yang disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak tepat.

Menurut Thomson, pada awal penyidikan kasus ini, kliennya disidik dalam perkara a quo (perkara yang sedang diperselisihkan) sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun demikian, lanjut Thomson, jaksa malah mendakwa kliennua dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dalam dakwaan primer, dan melanggar Pasal 13 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU tentang perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Seperti diberitakan sebelumnya, Anggoro didakwa menyuap sejumlah anggota DPR Komisi Kehutanan termasuk Ketua Komisi VI saat itu, Malem Sambat Kaban. Anggoro juga didakwa menyuap sejumlah pejabat Departemen Kehutanan periode 2004-2009. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memuluskan anggaran Departemen Kehutanan dana agar perusahaan milik Anggoro mendapatkan Proyek SKRT senilai Rp 180 miliar tersebut.

Usai pembacaan utusan sela, Anggoro melalui anggota tim kuasa hukumnya, Tito Hananta Kusuma, mengajukan surat permohonan izin rawat inap dan izin tambahan pembesuk untuk Anggoro.

Namun demikian, permohonan izin rawat inap Anggoro ditolak lantatan khawatir Anggoro bisa kabur lagi. Hakim Ketua Nani hanya mengabulkan permohonan tambahan pembesuk buat Angggoro.

"Izin rawat inap, kami minta lampiran atau surat keterangan dari KPK terkait kesanggupan untuk mengamankan terdakwa. Kita tahu terdakwa pernah tidak di Indonesia sekian tahun lamanya. Mohon diperhatikan," ujar Hakim Ketua Nani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan