Maju mundur pembatasan jumlah gerai waralaba



JAKARTA. Apa guna revisi aturan jika dampaknya tak bisa berujung pada pengembangan bisnis waralaba? Pertanyaan ini yang mengerucut dalam perdebatan tentang revisi jumlah gerai waralaba.

Kementerian Perdagangan telah merevisi satu-satunya pasal yang kerap menjadi “duri dalam daging”, Jumat (10/10) lalu. Sejak aturan tentang pembatasan gerai waralaba meluncur, pasal itu menjadi kontroversi. Dalam waktu dekat ini, aturan berdasarkan revisi terbaru akan disahkan.

Revisi tentang pembatasan gerai yang tak berlaku surut mendapat sorotan dari para pebisnis ritel. Maklum, sebelum direvisi, aturan yang mulai disusun sejak dua tahun lalu itu merupakan aturan yang digadang-gadang bisa mencegah monopoli waralaba oleh beberapa pemilik master franchise kuliner di Indonesia.


Monopoli

Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) Levita Supit, berharap, pembatasan kepemilikan gerai bagi pewaralaba itu harusnya mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Jangan sampai satu perusahaan mempunyai 100 gerai di Indonesia. Pemerintah harus memberikan kesempatan pihak lain ikut berbisnis,” ujarnya ke KONTAN, Kamis (16/10).

Jika ingin menerapkan prinsip waralaba yang meningkatkan pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), tegas Levita, jumlah gerai yang dimiliki sendiri oleh pemilik waralaba jangan terlalu banyak. Angka 250 dan 150 masih terlalu besar. WALI menyarankan, jumlah yang dimiliki sendiri seyogyanya diselaraskan dengan melihat jumlah provinsi atau kota-kota utama di Indonesia. “Selebihnya harus di waralaba,” imbuh Levita.

Hendi Setiono, Pemilik waralaba Baba Rafi menilai, dengan tidak berlaku surut, aturan tersebut bisa menghapus semangat para pengusaha lokal yang ingin mewaralabakan usahanya. Hendi khawatir, dengan batasan gerai milik sendiri yang terlalu banyak malah membuat persaingan bisnis terlalu ketat dan tidak sehat. “Sehingga, aturan ini jadi percuma,” tegas Hendi.

Pemilik waralaba Jojo Cup Hendrawan Buntaran segendang sepenarian. Menurutnya, aturan pembatasan gerai pada dasarnya bertujuan mencegah monopoli waralaba oleh segelintir pihak. Karena itu, Hendrawan berharap pemerintah bertindak lebih tegas.

Bukan hanya itu saja. Di bisnis waralaba, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus ke pembatasan gerai saja. Kemudahan izin, insentif, dan kemudahan kredit bagi pengusaha yang ingin membuka waralaba juga sangat penting. “Pengalaman saya, mitra yang di daerah masih kesulitan untuk mengurus izin dan mendapatkan bantuan kredit,” terang pria yang sudah punya hampir 30 gerai dan akan menambah 10 gerai Jojo Cup lagi ini.

Sementara pengamat waralaba dan konsultan dari Proverb Consulting, Erwin Halim, menilai, aturan itu masih jauh dari niat mencegah monopoli. Sebab, aturan ini masih bisa diakali oleh pemegang master waralaba atau pewaralaba dengan cara membuka waralaba baru oleh keluarga atau kerabat dekat sendiri.

Selain itu, Erwin melihat jika aturan ini juga masih belum bisa mencegah serbuan waralaba asing di Indonesia dan memproteksi waralaba lokal. Itu karena waralaba asing rata-rata memiliki modal yang cukup besar. Sehingga, saat pertama kali masuk di Indonesia pun mampu membuka ratusan gerai sendiri dalam waktu singkat.

Pemerintah, kata Erwin, seharusnya fokus mengatur bagaimana agar waralaba lokal kita dapat bertahan bisnisnya, bahkan go international. Selain melalui pelatihan, pemerintah sebaiknya rajin mengajak waralaba lokal studi banding waralaba ke luar negeri.

Erwin membandingkan, kiprah pemerintah di sini dengan aksi pemerintah Malaysia. Dalam setahun terakhir, pemerintah negeri jiran itu membawa hingga puluhan perwakilan waralaba lokal tur ke belasan negara untuk studi banding. “Sedangkan, di Indonesia yang diajak biasanya hanya 3-5 perwakilan dan itupun ke 2-3 negara saja,” terang Erwin.

Aturan baru ini juga menyisakan kerancuan di masa depan. Ia mencontohkan, pada awalnya, aturan untuk waralaba gerai kuliner sengaja dibedakan dengan waralaba ritel modern karena karakteristiknya berbeda. Karakter yang berbeda seperti pewaralaba kuliner besar kebanyakan dimiliki pengusaha asing, sedang pewaralaba ritel modern besar kebanyakan pemain lokal. Namun, kenapa kebijakan tidak berlaku surut disamaratakan? Kesannya, pemerintah tidak mau repot dengan kepemilikan gerai waralaba yang sudah menggurita.

Jadi intinya, dengan direvisinya aturan tersebut maka tidak akan berdampak signifikan bagi iklim waralaba di Indonesia. Jika aturan tersebut awalnya ingin mengurangi dominasi asing dan mencegah monopoli, maka aturan ini jelas belum memfasilitasi.

Gerai terlalu banyak

Kubu yang tak sepakat dengan revisi “tak berlaku surut”, tentu head to head dengan meraka yang setuju. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) setuju dengan hasil revisi dengan alasan gerai yang dimiliki oleh pewaralaba tertentu sudah terlalu banyak.

Ketua Harian Aprindo Tutum Rahanta beralasan, proses divestasi gerai waralaba sulit berjalan, terutama untuk gerai-waralaba minimarket yang berada di lokasi yang tidak menguntungkan dalam konteks bisnis. “Mereka (mitra) belum tentu mau gerai di wilayah tertentu dengan alasan, bisnisnya belum kelihatan atau terlalu untung,” kata Tutum.

Sebut saja, PT Fast Food Indonesia Tbk yang mengelola waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC). Saat ini, KFC sudah punya 466 gerai. Atau, minimarket Indomaret memiliki 8.814 gerai dan Alfamart 8.557 gerai (lihat infografik).

Jadi intinya, revisi aturan menguntungkan bagi para pemilik waralaba yang terlanjur punya banyak gerai di atas ketentuan. Pasalnya, mereka tidak wajib melepas gerai-gerainya yang melebihi jumlah berdasarkan ketentuan.

Albert Sentosa, Founder Samwon Group menyatakan, tidak berlaku surutnya aturan ini sudah tepat. Karena peraturan pemerintah sudah sepatutnya mengatur dan memperbaiki perekonomian dan perdagangan untuk masa depan, bukan mengatur masa lalu.

Sekedar informasi saja, saat ini Samwon Group memiliki empat format waralaba yakni, SamWon House Restaurant, SamWon Express Restaurant, SamWon Express Foodcourt serta K-Drink. “Hingga akhir tahun kami menargetkan 20 gerai di seluruh Indonesia,” ujar dia.

Amir Karamoy, Ketua Komite Tetap Waralaba dan Lisensi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menambahkan, pengusaha akan menyambut baik jika revisi tersebut sudah disahkan. Pasalnya, para pewaralaba kuliner kerap kesulitan melepas gerai mereka lantaran investasi disektor tersebut lumayan besar.

Amir pun berkomentar soal kemungkinan pengusaha lokal yang bisa memiliki penyertaan modal hingga 100% dari minimal 51%. Kebijakan tersebut dinilai mampu merangsang para pengusaha lokal bersemangat punya waralaba. Karena itu berarti mereka bisa mengurus usaha mereka sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan