KONTAN.CO.ID - BALI. Dana Moneter Internasional (IMF) akan memangkas prospek pertumbuhan ekonomi globalnya secara substansial dalam pembaruan berikutnya. Lantaran, tantangan dan mitigasi risiko yang makin sulit harus diatasi oleh berbagai negara. Mulai dari lonjakan harga pangan dan energi, melambatnya aliran modal ke pasar negara berkembang. Belum lagi pandemi tak kunjung usai dan perlambatan ekonomi China, mengutip Bloomberg pada Senin (18/7). “Ini menjadikannya jauh lebih menantang bagi pembuat kebijakan. Ini kejutan demi kejutan yang benar-benar memukul ekonomi global,” ujar Ceyla Pazarbasioglu, direktur strategi, kebijakan, dan tinjauan IMF, mengatakan pada panel hari Minggu di Bali, Indonesia.
Baca Juga: Kabar Baik! IMF Nilai Indonesia Aman dari Jurang Resesi Dia berbicara setelah menteri keuangan Kelompok 20 dan gubernur bank sentral mengakhiri pertemuan mereka pada hari Sabtu tanpa mencapai komunike. Ini menggarisbawahi kesulitan dalam mengoordinasikan respons global terhadap lonjakan inflasi dan ketakutan akan resesi. IMF telah menurunkan prospeknya untuk ekspansi global tahun ini menjadi 3,6%, dari 4,4% sebelum perang di Ukraina, dalam laporannya di bulan April. “Dalam tinjauan yang dijadwalkan bulan ini, kami akan menurunkan perkiraan kami secara substansial," kata Pazarbasioglu. Bankir sentral di seluruh dunia merasa sulit untuk menemukan respons yang tepat terhadap kenaikan harga yang didorong oleh masalah pasokan. “Jalan menuju
soft landing semakin menyempit; kami pikir itu masih jalan yang layak tetapi tentu saja tidak mudah. Di mana bank sentral mengambil kebijakan moneter dengan cara yang cepat dan tegas dan memiliki respons yang banyak terhadap inflasi, itu lebih kondusif untuk
soft landing,” kata Hyun Song Shin, kepala penelitian di Bank for International Settlements, di panel yang sama. Bank Indonesia, sebagai tuan rumah pertemuan G-20, menjadi
outlier dalam menjaga suku bunga acuannya pada rekor terendah. Gubernur Perry Warjiyo telah membela pandangan itu. Ia menyebut pengetatan terlalu cepat dapat berisiko menjerumuskan negara, yang baru keluar dari resesi yang didorong oleh pandemi, ke dalam stagflasi sebagai gantinya. Bahkan, beberapa negara sudah mencatatkan inflasi yang tak terkendali. Harga konsumen Selandia Baru naik dengan laju tercepat mereka dalam tiga dekade. Angka inflasi mengalahkan perkiraan dan meningkatkan prospek kenaikan suku bunga 75 basis points yang belum pernah terjadi sebelumnya pada pertemuan kebijakan bank sentral bulan depan.
Mengutip
Reuters, Senin (18/7), indeks harga konsumen (CPI) meningkat 7,3% yoy pada kuartal kedua, meningkat dari kenaikan 6,9% pada kuartal pertama. Inflasi ini mencapai level tertinggi sejak kuartal kedua 1990 ketika harga naik 7,6%, berdasarkan data Statistik Selandia Baru.
Baca Juga: IMF Bakal Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia, Ini Sebabnya Inflasi Amerika Serikat (AS) bulan Juni melesat di atas proyeksi pasar di level 9,1% secara tahunan. Ini adalah kenaikan terbesar sejak November 1981 dan mengikuti kenaikan 8,6% pada Mei. Sedangkan Harga konsumen Korea Selatan, ukuran utama inflasi, melonjak 6% di bulan lalu dari tahun sebelumnya. Itu adalah inflasi paling tajam, sejak inflasi di bulan November 1998 yang capai 6,8%. Saat itu, Korea Selatan berada di tengah krisis keuangan Asia 1997-98. Pemerintah memperkirakan inflasi akan berada di bawah tekanan ke atas dan bertahan di kisaran 6% untuk saat ini.
Editor: Handoyo .