Makin lambat lapor, tebusan tax amnesty membengkak



JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) tengah menuntaskan naskah akademik tentang rencana pengampunan pajak khusus atau special tax amnesty. Di naskah itu, Ditjen Pajak ingin menerapkan tarif tebusan program special tax amnesty berdasarkan waktu pelaporan setelah kebijakan ini berlaku.

Direktur Penyuluhan, Pengembangan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Mekar Satria Utama menjelaskan, wajib pajak bisa memperoleh fasilitas pengampunan pajak bila melaporkan dan membawa masuk 90% dari total asetnya yang tersimpan di luar negeri. Lalu, wajib pajak harus membayar tebusan/denda agar aset itu sah.

Selama periode laporan yang berlangsung dua bulan setelah tax amnesty diberlakukan,  wajib pajak hanya perlu membayar tebusan sebesar 7%-10% dari total aset. Namun, jika melebihi batasan waktu tersebut, besaran denda meningkat jadi 15%-20%. Lalu, jika wajib pajak mau menarik dan menginvestasikan seluruh asetnya di dalam negeri, wajib pajak bisa mendapatkan pengurangan sebesar 5% dari tarif yang berlaku.


Sebagai pilihan investasi, Ditjen Pajak ingin agar dana itu tersimpan di obligasi pemerintah. Jangka waktunya minimal  lima tahun.

Wajib pajak juga bisa memilih menyimpan dananya melalui penyertaan modal berbentuk saham di suatu badan usaha di Indonesia. Pilihan lain, wajib pajak bisa menginvestasikan dananya di properti.  "Semuanya masih rencana. Kami sedang mempercepat proses kajiannya, mudah-mudahan awal bulan depan sudah bisa dipresentasikan ke Menteri Keuangan," kata Mekar, Jumat (12/6) lalu.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro tidak membantah dan tidak juga memastikan. "Nanti kita lihat undang-undangnya. Pokoknya yang penting, jika uangnya dimasukkan, uangnya harus stay," ungkap Bambang.

Perkumpulan Prakarsa, lembaga swasta yang mengkaji kebijakan ekonomi, meragukan program tax amnesty bisa sukses berjalan. "Iming-iming tebusan yang murah tak menjamin wajib pajak mau melaporkan asetnya, jika Ditjen Pajak tak memiliki daya untuk menarik jumlah aset di luar negeri," ujar Setyo Budiantoro, Direktur Perkumpulan Prakarsa.

Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako berpendapat, konsep tax amnesty adalah pelaporan aset yang tak terdata. Jika nanti ada kewajiban untuk menginvestasikan di portofolio tertentu, malah akan menjadi bumerang bagi program ini. Pasalnya, orang-orang penyimpan aset di luar negeri pasti lebih nyaman menaruh dananya di negara lain demi menghindari risiko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia