JAKARTA. Perilaku negatif warga di Jakarta seringkali menjadi sumber bencana. Buang sampah sembarangan memicu banjir, melanggar aturan lalu lintas berbuah kecelakaan, hingga berdagang di badan jalan yang mengakibatkan kemacetan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ataupun Polri sudah mempunyai produk hukum yang lengkap untuk jenis pelanggaran itu. Namun, tetap saja pelanggaran itu terus terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, sesulit apakah mengubah perilaku negatif warga di Jakarta? Dalam bincang-bincang wartawan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa perilaku negatif adalah musuh bersama yang harus ditekan. Tak ada cara lain untuk mengubah perilaku warga, kecuali dengan menegakkan hukum untuk pelanggar.
"China butuh puluhan tahun mengubah perilaku warganya yang suka buang ludah sembarangan. Kalau Jakarta, dengan cara yang tepat, mungkin 10 sampai 15 tahun saja bisa tertib," ujar pria yang kerap disapa Jokowi itu. Jokowi mengatakan tengah merancang sanksi baru bagi para pelanggar, yakni dengan menerapkan denda maksimal. Sanksi serupa telah diberlakukan untuk penerobos jalur jalur transjakarta dengan denda Rp 500.000 hingga Rp 1 juta untuk jenis pelanggaran ganda. Jokowi menganggap sanksi denda itu cukup efektif membuat perilaku pengendara bermotor sedikit berubah jadi lebih tertib. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Otho Hernowo Hadi, mengatakan, denda maksimal seperti itu tidak cukup manjur jika tidak dibarengi pelaksanaan hukum secara ketat. Penegakan hukum itu memang cukup efektif, tetapi perlu disertai dengan penegakan peraturan secara menyeluruh dan tidak setengah-setengah. "Pertama, dimulai dari mengeluarkan SIM (surat izin mengemudi). Tak ada lagi praktik yang tak sesuai aturan yang ada, misalnya sogok-menyogok. Kalau begini, orang bisa membuat SIM dengan mudah. Harusnya SIM itu berdasarkan kompetensi," ujar Otho. Ia mencontohkan, di negara-negara maju, SIM tidak bisa didapat secara mudah. Hal itulah yang membuat lalu lintas jalan jadi tertib. Selain itu, kata Otho, penegakan hukum juga harus konsisten. Ia mengatakan, polisi harus mendapat sorotan dalam hal ini. "Jangan hanya pencitraan di jalan. Ada sterilisasi jalur busway, harus terus-menerus," ujarnya. Ia juga meminta Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk tegas dan jelas dalam menempatkan rambu-rambu lalu lintas. Jangan ada alasan bagi para pelanggar untuk membentengi tindak pelanggaran hukum dengan berdalih ketidakjelasan rambu atau marka lalu lintas jalan. Otho juga mendesak pejabat pemerintah untuk menjadi teladan yang baik bagi masyarakat. Ia mengingatkan, perilaku pejabat pemerintahan merupakan cermin perilaku masyarakatnya sendiri. Perlu juga melakukan sosialisasi atau kampanye tertib hukum yang berpola, masif, dan komprehensif pada semua masyarakat. "Di Kyoto, Jepang, pemerintah daerah terhitung sudah 12.000 kali sosialisasi warga jangan buang sampah sembarangan. Warga dididik memilah sampah kering sampah basah, sekarang mereka sudah meninggalkan perilaku buruknya, jauh lebih baik," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi A DPRD DKI, William Yani, yakin bahwa kehidupan warga Jakarta bisa selangkah dua langkah lebih maju di bawah kepemimpinan Jokowi dan Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Hal itu dikarenakan kedua tokoh itu merupakan ikon yang melekat di benak warga. Oleh sebab itu, apa yang dikatakan atau diperbuat keduanya dapat memengaruhi perilaku masyarakat. "Media selalu mengawal cara Jokowi memajukan kota. Tayangan yang sampai ke masyarakat adalah suntikan untuk masyarakat sendiri untuk menyadari mereka salah, harus berubah," ujarnya. Dengan sosok Jokowi yang suka blusukan ke kampung-kampung, sederhana, dan dekat dengan rakyatnya, William yakin bahwa hal itu semakin menularkan efek positif ke setiap orang yang ditemui. Oleh karena itu, ia percaya bahwa Jakarta yang tertib hukum serta tertib sosial dapat segera terealisasi. (Fabian Januarius Kuwado) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie