Manfaat dari pemungutan pajak belum terasa



Jakarta. Dalam berbagai riset, jumlah kelas menengah yang besar dan tumbuh pesat kerap menjadi gincu soal betapa menariknya potensi bisnis dan ekonomi Indonesia. Hasil riset The Boston Consulting Group (BCG), misalnya, menyebutkan, pada tahun 2012 jumlah kelas menengah di Indonesia sebanyak 74 juta orang atau 30% dari total penduduk. Pada tahun 2020 diperkirakan bisa mencapai 141 juta jiwa.

Tapi, jumlah kelas menengah yang begitu besar tak diikuti oleh peningkatan jumlah wajib pajak pribadi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, hingga April 2014 lalu, jumlahnya hanya 25 juta orang.

Kesadaran masyarakat yang rendah menjadi salah satu penyebab seretnya penerimaan pajak. Alhasil, target penerimaan pajak tahun ini yang mencapai Rp 1.027,4 triliun tak tercapai. Pekan lalu pemerintah memangkas target itu menjadi tinggal Rp 997,2 triliun.


Wajib pajak yang berstatus sebagai karyawan boleh jadi merupakan anggota masyarakat yang tergolong taat membayar pajak. Gaji yang masuk ke rekening telah lebih dulu dipotong pajak penghasilan. Meski kenyataannya, banyak juga orang yang tak paham jenis pajak yang mereka bayar dan besarannya. “Hitungan pajaknya saya enggak ngerti. Cuma gaji bersih yang saya terima, katanya, sudah dipotong pajak penghasilan,” kata Dwika Aldila, staf humas di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Persoalannya, golongan menengah di Indonesia mayoritas bekerja di sektor informal seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bagi pelaku UMKM seperti Dwita Roismika mungkin bukan masalah. Sarjana akuntansi Universitas Airlangga, Surabaya, ini mengaku mengurus sendiri pembukuan keuangan termasuk pembayaran pajak usahanya.

Baru tahun 2008 atau sekitar tiga tahun sejak memulai usaha, Dwita menyerahkan urusan keuangan dan pajak usaha kaus dengan bendera Cak Cuk miliknya ke karyawan. Ini seiring dengan perkembangan bisnisnya yang mulai membuka outlet Cak Cuk kedua di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya.

Cuma, kebanyakan pelaku UMKM masih fokus ke urusan operasional dan penjualan. Boro-boro memikirkan soal pajak, pembukuan transaksi bisnis saja tidak tercatat dengan baik. “Para pelaku UMKM banyak yang belum begitu aware terhadap pajak, termasuk bagaimana cara menghitungnya,” ujar Hendy Setiono, pemilik Baba Rafi.

Hendy yang merintis Baba Rafi sejak 2003, sih, sudah tertib pajak sejak 2008 sampai sekarang. “Sudah enam tahun saya berusaha untuk selalu clean dalam soal pajak. Dampak positifnya, buku keuangan perusahaan menjadi lebih rapi, audit jadi lebih baik,” aku Hendy.

Selain itu, sebagai pengusaha, menurut Hendy, banyak merasakan manfaat dari pajak yang dia bayar. Tahun ini ia sudah dua kali mengikuti pameran yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan di luar negeri. Semuanya Hendy peroleh tanpa membayar sepeser pun. Salah satunya awal Agustus lalu ketika Baba Rafi menjadi salah satu peserta Indonesian Diaspora National Convention di New Orleans, Amerika Serikat.

Tak terhitung pelatihan bagi UMKM yang Hendy ikuti dan diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Memang, fasilitas-fasilitas seperti itu belum dinikmati secara merata, terutama oleh pelaku UMKM di luar Jawa. Ia menduga masalahnya lebih kepada akses informasi dan link terhadap informasi yang minim. “Syarat entrepreneurship, salah satunya, membangun jaringan. Jadi, tanggungjawab pelaku UMKM sendiri untuk lebih aktif mencari informasi,” kata Ketua Komite Tetap untuk Pengembangan Wirausaha Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ini.

Kurang terasa

Namun harus diakui, memang tak semua pembayar pajak merasa beruntung seperti Hendy. Walau rutin membayar pajak, Hedi Yunus, penyanyi dan personel grup musik Kahitna, merasa sedikit terbebani dengan kewajiban tersebut. Persoalannya bukan di nominal pajak yang harus dibayarkan, melainkan soal manfaat yang dia rasakan kurang maksimal.

Sebagai musisi, Hedi dan teman-temannya di Kahitna harus membayar pajak jika menjual karya seninya. Tapi, perlindungan pemerintah terhadap profesi mereka masih minim. “Musisi, kan, ada pajak album dan pajak penjualan compact disc (CD). Tapi, CD bajakan masih luar biasa marak,” keluhnya.

Keluhan yang termasuk umum di kalangan pembayar pajak adalah soal ketersediaan dan kualitas fasilitas umum seperti jalan. Hedi punya pengalaman buruk soal ini. Mobilnya rusak gara-gara terperosok kedalam lubang di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kejadiannya saat musim banjir awal tahun ini. “Kalau bahan dasar aspal yang dipakai memang betul, mungkin jalannya tidak akan bolong-bolong,” ujarnya.

Hal yang sama juga pernah dialami Asep Abdurahman. Suatu malam di bulan April 2014, karyawan perusahaan otomotif nasional ini memboncengkan istrinya yang sedang hamil dengan sepeda motor di daerah Cinere, Depok. Saat itu hujan deras mengguyur sehingga pandangan terbatas. Apalagi, lampu penerangan jalan tidak tersedia. “Saya enggak tahu ada lubang gede, ban motor masuk ke situ. Untung istri saya enggak apa-apa,” katanya kesal.

Asep merasa pantas berkeluh-kesah. Ia sudah membayar pajak dengan baik. Selain pajak penghasilan yang rutin dipotong saban bulan, dia juga mengklaim selalu membayar pajak yang lain. Jumlahnya juga tak bisa dibilang sedikit. Untuk dua kendaraan milikinya, setahun Asep membayar pajak total sekitar Rp 2,1 jutaan. Sementara untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 200.000-an per tahun.

Jadi, pemerintah sah-sah saja memungut pajak dan memburunya sampai lubang tikus. Tapi, manfaat pajak harus betul-betul terasa dan menetes ke semua lapisan masyarakat.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 3 - XIX, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander