Read my lips, no new taxes. Kalimat itu diucapkan oleh George W. Bush (alm) saat memenangkan pemilihan presiden di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1988 silam. Akan tetapi, karena tidak mampu menepati janjinya, maka hal itu menjadi salah satu penyebab kekalahannya dalam kampanye pada 1992. Hal tersebut menunjukkan bahwa pajak memainkan peranan penting, baik dalam pertarungan politik, maupun pembuatan kebijakan publik oleh sebuah pemerintahan. Dan jangan isu pajak juga digunakan dalam kampanye atau proses politik di seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia. Dalam politik ekonomi, dikenal istilah median voter theorem, dalam proses pemungutan suara. Maka, pemenang akan dihasilkan dari preferensi suara pemilih terbanyak.
Sebagai akibatnya, pihak-pihak yang berkampanye akan menawarkan sesuatu yang menjadi preferensi pemilih. Membayar pajak yang lebih ringan, atau bahkan bebas tidak membayar pajak, akan menjadi sesuatu yang ditawarkan oleh pihak yang berkampanye dalam kontes politik. Hal ini akan menjadi sangat menarik, mengingat sangat sulit menemukan orang yang berjiwa altruis dalam membayar pajak. Apalagi, sistem perpajakan saat ini mengenakan pajak hampir di semua tingkat aktivitas manusia. Mulai dari menerima penghasilan, melakukan konsumsi dan atau saat memiliki kekayaan. Nah, saat ini negeri kita Indonesia, sedang dalam masa kampanye pemilihan umum yang dilakukan serentak. Pemilihan presiden dan legislatif, baik DPR dan DPRD, akan berlangsung di seluruh pelosok Indonesia. Apakah isu pajak tersebut dapat diwujudkan di Indonesia? Mari coba kita tengok di Amerika Serikat. Setiap ada pemilihan presiden di Negeri Paman Sam, isu pajak akan menjadi program yang ditunggu-tunggu, terutama oleh pemilih dari Partai Republik. Dengan komposisi warga negara yang sudah mapan secara ekonomi dan umumnya berkarakter konservatif, maka isu penurunan pajak akan selalu ditunggu. Akan tetapi, sistem hukum di AS sangat memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Dengan sistem common law atau sistem hukum Anglo Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi dan bersumber hukum dalam sistem hukum ini ialah putusan hakim/pengadilan. Menurut Satjipto Raharjo, salah satu karakteristik sistem hukum tersebut adalah memiliki nilai praktis dan memberikan kepastian sehingga janji kampanye presiden sangat mungkin cepat direalisasikan. Sementara itu, Indonesia menganut sistem civil law yang memiliki tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang (UU) menjadi dasar hukum utama dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Hal ini berarti setiap ada keinginan untuk mengubah subjek, objek dan/atau tarif pajak diharuskan mengubah UU yang berlaku. Selain itu, diperlukan pembahasan dengan pihak legislatif dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengubahnya. Di Indonesia perubahan UU pajak biasanya terjadi dalam jangka 10 tahun dan sifat perubahannya pun tidak bersifat komprehensif, hanya beberapa pasal saja. Tarif pajak penghasilan memang telah beberapa kali diubah dan untuk mengubahnya harus dengan mengubah Undang-Undang. Tarif pajak yang berlaku saat ini sebesar 25% (untuk Pajak Penghasilan atau PPh yang dibayar perusahaan) telah berlaku sejak tahun 2008. Dan berdasarkan UU PPh tersebut, tarif pajak pun sudah tidak mungkin lebih rendah dari 25%. Fungsi pajak Sebenarnya pajak bukan sekadar berfungsi sebagai instrumen fiskal, melainkan juga dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial. Menurut teori ekonomi, bahkan dalam teologi, diperlukan suatu instrumen untuk mewujudkan redistribusi penghasilan atau redistribusi kekayaan. Pajak atau zakat merupakan salah satu instrumen yang telah lama diterapkan. Pajak juga berfungsi sebagai instrumen untuk mengatur perilaku manusia atau agen ekonomi yang menyebabkan eksternalitas negatif. Contoh jenis pajak ini adalah cukai rokok untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan atau pajak kendaraan bermotor untuk mengurangi polusi udara. Pajak kendaraan bermotor sendiri lebih bersifat earmarking tax, penerimaan pajak digunakan langsung untuk perbaikan atau perawatan jalan. Jika dilihat sebagai instrumen fiskal, ide penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) yang dicetuskan dalam kampanye kali ini berpotensi mengganggu keseimbangan fiskal dalam APBN maupun APBD. Kontribusi penerimaan PPh dalam APBN masih sangat kuat sekitar 30%, yang terutama ditopang oleh PPh yang dibayar oleh perusahaan (PPh Badan). Sementara itu, ukuran pemerintah (besaran APBN) akan terus meningkat. Penurunan tarif PPh secara masif tidak mungkin dilakukan di negara yang masih mengembangkan kapasitas pemerintah dalam meningkatkan kemakmuran masyarakat. Sebagai perbandingan, negara maju yang kuat struktur pajaknya ditopang oleh pajak penghasilan yang dibayar oleh individu. Namun di Indonesia, sebagian besar pembayaran pajak ditopang oleh perusahaan. Direktorat Jenderal Pajak masih membutuhkan waktu untuk mewujudkan struktur pajak yang kuat dan memiliki sustainability dalam jangka panjang. Sementara itu, transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah juga semakin besar nilai nominalnya.
Fenomena flypaper effect, yaitu belanja daerah jauh lebih besar dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terjadi di hampir seluruh pemerintah daerah. Sebagian besar pemerintah daerah, baik itu provinsi, kabupaten atau kota, masih sangat mengandalkan transfer dari pemerintah pusat dan belum mampu meningkatkan PAD sesuai dengan proporsi yang memadai. Melihat realita di atas, dapat dilihat bahwa isu-isu pajak dan perpajakan sangat sulit diterapkan dalam kampanye politik di Indonesia. Sebaiknya, mereka lebih berfokus untuk memastikan bahwa pajak yang dipungut negara akan dialokasikan dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.♦
Benny Gunawan Ardiansyah Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN, Kementerian Keuangan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi