Manfaatkan Situasi Corona, Cina Coba Mendominasi Laut Cina Selatan



KONTAN.CO.ID - DW. Akhir minggu lalu Cina mengumumkan pendirian dua wilayah administrasi baru di kota Nansha. Kedua distrik itu adalah Xisha (Gugus Kepulauan Barat) dan Nansha (Gugus Kepulauan Selatan). Kota Sansha baru didirkan tahun 2012 di Woody Island dan termasuk wilayah provinsi Hainan.

Xisha adalah sebutan Cina untuk Kepulauan Paracel, sedangkan Nansha sebutan untuk Kepulauan Spratly. Kedua kawasan adalah titik panas sengketa teritorial antara Cina dengan negara-negara tetangganya di Laut Cina Selatan (LCS). Kepulauan Paracel diklaim juga oleh Vietnam dan Taiwan, sedangkan Kepulauan Spratly oleh Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam.

Tidak menunggu lama, Cina juga langsung mengumumkan nama-nama resmi untuk 80 pulau dan gugus karang yang ada di wilayah administasi baru itu.


Protes dari Vietnam

Pengumuman Cina langsung ditanggapi oleh Vietnam. Kementerian Luar Negeri Vietnam hari Minggu (19/04) melayangkanprotes keras dan menuntut Cina menarik kembali keputusannya membentuk distrik Nansha dan Xisha.

"Vietnam telah berkali-kali menegaskan bahwa ada cukup bukti sejarah dan landasan hukum untuk menegaskan kedaulatannya atas Kepulauan Paracel dan Spratly," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Le Thi Thu Hang dalam sebuah pernyataan.

Carl Thayer, Profesor Emeritus di Universitas New South Wales, Australia, mengatakan Beijing memang sedang berupaya memperkuat  cengkeramannya di wilayah tersebut. "Distrik-distrik baru akan membawahi wilayah Paracel dan Macclesfield Bank - wilayah yang diklaim oleh Vietnam dan Taiwan - serta Spratly, di mana ada banyak klaim yang tumpang tindih," katanya.

"Pelanggaran serius”

Vietnam menyebut langkah Cina "secara serius melanggar" kedaulatan wilayah-wilayah itu. Namun Kementerian Luar negeri Cina hari Selasa (21/04) menjawab, Kepulauan Spratly dan Paracel adalah "wilayah bawaan" Cina dan klaim Vietnam adalah "ilegal".

Awal April, Vietnam juga mengajukan pengaduan resmi ke PBB karena Beijing "secara ilegal menenggelamkan pukat ikan (Vietnam) dekat Kepulauan Paracel” bersama delapan orang di dalamnya. Cina membantah dan menerangkan, kapal nelayan itu memasuki wilayahnya secara illegal dan "memprovokasi tabrakan” dengan penjaga pantai. Ke delapan nelayan berhasil diselamatkan.

"Tidak ada negara yang dapat mengklaim kedaulatan atas kawasan bawah air, kecuali mereka berada dalam kawasan 12 mil laut dari daratan. Jadi, apakah Cina tidak mengetahui hal ini atau dengan sengaja mencoba melanggar hukum internasional?" kata Bill Hayton, dari lembaga tangka pemikir Inggris Chatham House. "Cina telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang sangat jelas mengenai apa yang bisa dan tidak bisa diklaim sebagai wilayahnya.”

Provokasi di masa pandemi

Amerika Serikat mengerahkan dua kapal perangnya ke wilayah itu dan memperingatkan Cina tidak mengambil keuntungan dari pandemi corona di Laut Cina Selatan. Sebelumnya beberapa sumber keamanan melaporkan kapal Cina Haiyang Dizhi 8 membuntuti kapal eksplorasi perusahaan minyak Malaysia, Petronas, di sekitar Kepulauan Spratly. Haiyang Dizhi 8 adalah kapal bersenjata lengkap yang terdaftar sebagai kapal penelitian. Kehadirannya saat itu didampingi beberapa kapal pengiring.

Amerika Serikat mengatakan Beijing harus menghentikan "perilaku intimidasi" di perairan LCS yang disengketakan. Kapal serbu amfibi USS America dan kapal penjelajah rudal USS Bunker Hill saat ini beroperasi di Laut Cina Selatan di bawah Komando Indo-Pasifik, kata juru bicara AS Nicole Schwegman tanpa menyebutkan lokasi pasti kedua kapal perang itu.

Cina membantah melakukan provokasi dan menerangkan, Haiyang Dizhi 8 sedang melakukan kegiatan penelitian normal. Pihak Petronas maupun Kementerian Luar Negeri Malaysia yang dihubungi kantor berita Reuters belum memberikan tanggapan.

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti