KALAU Anda ingin mencari ikan asin dengan harga relatif lebih murah dan lengkap pula jenis ikannya, datanglah ke kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, tepatnya ke sentra Industri Ikan Asin Muara Angke. Di sini Anda bisa secara langsung bertemu dengan para produsen ikan asin. Bukan penjual ikan asin seperti yang sering Anda temui di pasar-pasar. Selain membeli ikan asin yang sudah berada dalam kemasan rapi, di sentra yang berdiri sejak 1984 ini Anda bisa melihat langsung proses penjemuran ikan setelah melalui proses penggaraman. Denta, pengurus harian Kantor Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) mengatakan, pemerintah sengaja membuat sentra ini untuk memfasilitasi nelayan dan pengusaha agar produksi olahan ikan asin lebih terkontrol kebersihannya. "Pembangunan sentra ini untuk menampung para pengolah ikan yang dulu berada di Kali Baru, Muara Karang, dan Ancol," kata Denta.
Pengusaha di Kali Baru tergusur karena lahan di sana terkena perluasan pelabuhan. Sedangkan pengusaha yang sebelumnya berada di Ancol harus angkat kaki karena tempatnya terkena perluasan sarana pariwisata. Adapun pengusaha di Muara Karang harus pindah akibat adanya perluasan pembangkit listrik tenaga uap di kawasan itu. Sentra ini berdiri di atas lahan seluas 4,5 hektare milik pemerintah. Denta mengatakan, ada sekitar 196 pengusaha pengolahan ikan yang menempati sentra ini. Usaha yang mereka geluti tidak hanya pengolahan ikan asin. Ada beberapa pengusaha yang mengolah ikan asap, ikan pindang, atau pembuatan terasi. Para pengusaha itu harus membayar uang sewa bulanan kepada pengelola sebesar Rp 50.000 per unit. Setiap unit memiliki luas 150 meter persegi. Pengusaha biasanya membagi lahannya sebagai tempat pengolahan dan lahan penjemuran ikan. Sentra ini tak jauh letaknya dari tempat pelelangan ikan (TPI) Muara Angke di mana para nelayan melakukan bongkar muatan sehabis melaut. Lokasinya yang berdekatan dengan TPI Muara Angke memang menguntungkan bagi sentra ini. Haryono, pengusaha pengolahan cumi yang membuak usaha di sentra ini, menilai, sentra pengolahan ikan memang harus menyatu dengan TPI. Haryono, yang akrab disapa Haji Yono, mengatakan, kesatuan ini akan saling menguntungkan, baik bagi pengusaha pengolahan ikan maupun nelayan. Pengusaha pengolahan ikan bisa cepat mendapat pasokan ikan. Sementara nelayan tak perlu kesulitan memasarkan hasil tangkapannya. Lantaran dekat dengan TPI, jenis ikan yang diolah di sini terbilang lengkap. Ada saja jambal, tongkol, pari, cumi, dan lain sebagainya. Hanya saja, menurut Charmadi, salah satu pengusaha pengolahan ikan asin, setiap pengusaha di Muara Angke mempunyai spesialisasi jenis ikan yang mereka olah. Charmadi sendiri yang sudah berusaha di sentra ini selama sepuluh tahun, khusus mengolah ikan jambal. Ada juga pengusaha lainnya yang secara khusus mengolah ikan tongkol, atau ikan cumi dan lainnya. "Jadi masing-masing pengolah ikan memiliki ke-khasan. Meski bisa jadi mereka juga mengolah ikan lain, tapi cuma sedikit," katanya. Pasokan Bukan Hanya dari Nelayan Angke Pasokan bahan baku ikan asin di Muara Angke banyak berdatangan dari nelayan sekitar Muara Karang dan Muara Angke, Jakarta. Namun, banyak juga nelayan-nelayan dari daerah seperti Indramayu, Pekalongan, Lampung, dan beberapa tempat lain yang memasok ikan basah untuk sentra ini. Pengurus harian Kantor Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Denta menuturkan, dalam satu hari, sentra ikan asin Muara Angke bisa menerima pasokan ikan basah rata-rata seberat 20 ton sampai 30 ton. "Sementara hasil pengolahan ikan asin per hari rata-rata bisa mencapai 10 ton hingga 15 ton," katanya. Haryono, salah satu pengusaha ikan asin di kawasan ini, mengaku, dalam sehari, ia bisa menerima rata-rata lima ton sampai enam ton ikan segar dari nelayan. "Bahkan, saya pernah menerima pasokan ikan basah sebanyak 10 ton dalam sehari," tuturnya. Tapi jika tangkapan ikan nelayan sedang lesu, ia hanya menerima dua ton sampai tiga ton ikan segar saja. Haryono atau akrab disapa Haji Yono ini telah menggeluti usaha ikan asing selama 26 tahun. Tapi, ia mengaku, beberapa tahun terakhir, ia lebih memilih mengasinkan ikan sotong alias cumi daripada ikan laut lainnya. Sebab, kebanyakan nelayan di Muara Angke juga hanya menangkap cumi sehingga pasokan ikan lain pun kurang. "Sekitar 95% kapal penangkap ikan di Muara Angke merupakan kapal penangkap cumi," imbuhnya. Dalam satu bulan, Haji Yono bisa menjual cumi kering rata-rata sebanyak 65 ton. Ia mematok harga cumi kering Rp 39.000 hingga Rp 40.000 per kilogram (kg). Sementara, ia sendiri membeli cumi basah dengan harga Rp 17.000 hingga Rp 19.000 per kg dari nelayan. Jika kondisi normal, omzet yang diraup Haji Yono dalam sebulan bisa mencapai Rp 2,5 miliar. Sementara, untuk keuntungan, Haji Yono mengaku mendapat margin tak lebih dari 20%. Lain lagi dengan Haji Damra yang sudah lebih dari 10 tahun menggeluti usaha pengolahan ikan di sentra ini. Ia bisa menerima pasokan ikan segar rata-rata sebanyak dua ton per hari. Adapun ikan asing yang ia jual mencapai satu ton per hari. Haji Damra, yang meneruskan usaha orang tuanya ini, hanya mengolah ikan tongkol untuk dijadikan ikan asin. Ia menjual ikan tongkol asin Rp 11.000 per kg. Berarti dalam sebulan, Haji Damra yang dibantu oleh lima karyawan ini bisa meraup omzet sekitar Rp 330 juta. Adapun Charmadi, yang sehari-harinya mengolah ikan asin jenis jambal, mengaku bisa menerima pasokan ikan jambal basah antara dua ton sampai tiga ton per hari. Kalau sepi, paling-paling, ia hanya mengolah lima kwintal ikan jambal per hari. "Untungnya, ada nelayan yang langganan memasok ikan jambal kepada saya," imbuhnya. Charmadi membeli ikan jambal basah dari nelayan seharga Rp 12.000 per kg. Setelah ikan tersebut diolah, ia menjualnya dengan harga Rp 30.000 sampai Rp 32.000 per kg. Ia tak mau menyebutkan berapa omzet maupun keuntungannya dalam sebulan.Charmadi mengaku, ia hanya pengusaha kecil karena cuma punya satu orang karyawan. Pemasaran produknya pun terbatas untuk kota Jakarta saja. Paceklik di Musim Angin BaratBulan Desember hingga Maret merupakan bulan-bulan yang dibenci nelayan dan produsen ikan asin. Bagaimana tidak, pada bulan-bulan tersebut terjadi musim angin barat. Saat itu, angin di laut bertiup lebih kencang daripada bulan-bulan lain sehingga ombak laut menjadi ganas. Para nelayan pun jadi berfikir dua kali untuk melaut. Kalaupun berani, mereka akan susah menangkap ikan dengan maksimal. Tak pelak, tangkapan ikan di musim tersebut menurun drastis. Akibatnya, pasokan ikan ke sentra Muara Angke pun ikut menurun. Menurut Haryono, salah seorang pengolahan ikan asin di sentra tersebut, pasokan ikan di bulan Desember hingga Maret biasanya turun sekitar separoh dari pasokan di bulan biasa. Dalam kondisi normal, Haryono biasa menerima pasokan ikan sotong atau cumi sekitar 5 ton sampai 6 ton per hari. Tapi di musim angin barat, ia cuma bisa menerima pasokan sebanyak 2 ton cumi dalam sehari. Haji Darma, produsen ikan asin lain di kawasan ini, juga mengalami hal serupa. Saat musim barat tiba, pasokan ikan segar masuk ke usaha pembuatan ikan asinnya turun sampai 50% dari pasokan hari biasa. Sementara Charmadi, pengusaha ikan jambal asin bahkan hanya bisa memasok tiga kuintal ikan jambal per hari di musim barat. Ini jauh dari pasokan ikan di saat normal. "Bahkan ada saat di mana kami tidak mendapat pasokan," katanya. Meski demikian, Haji Yono mengakui, justru musim barat merupakan masa panen rezeki bagi para pengusaha ikan asin. Karena suplai ikan tangkapan menurun, pasar pun akan mengalami penurunan suplai ikan segar. aat itu, ikan asin bisa menjadi alternatif bagi konsumen. Maka, permintaan ikan asin di musim ini otomatis akan naik dan harganya pun bisa meroket. "Tinggal bagaimana pengusaha ikan asin memutar otaknya agar bisnisnya bertahan dan mendapat laba maksimal," kata Haji Yono. Namun, Haji Yono mengeluh, musim barat kali ini berbeda dari biasanya. Walaupun pasokan ikan basah turun, namun permintaan ikan asin tidak kunjung meroket. "Di awal tahun ini, pasokan dan penjualan sama-sama mengalami penurunan," ujarnya. Akibatnya, omzet Haji Yono pun ikut menurun hingga 70%. Jika biasanya dia mampu meraup omzet sekitar Rp 2 miliar per bulan, maka belakangan ini, dia hanya mampu membukukan omzet sekitar Rp 600 juta per bulan.
Penurunan penjualan ikan asin juga diakui oleh Haji Damra. Menurutnya, penurunan penjualan ini disebabkan oleh menurunnya permintaan dari konsumen berkaitan dengan hari raya Maulud Nabi yang jatuh di akhir Februari 2009. Ia bilang, ketika bulan Maulud, orang Jawa khususnya meminimalkan konsumsi ikan asin. "Ini yang menyebabkan penjualan ikan asin menurun cukup tajam," tegasnya. Alasan ini dibenarkan pula olah Charmadi. Namun, Haji Yono tak sependapat dengan alasan yang dikemukakan rekannya itu. Menurutnya, harga ikan asin memang sudah terlalu tinggi, sehingga konsumen tidak mampu membeli. "Kalaupun mampu, mereka akan memilih produk lain yang lebih murah untuk konsumsi mereka," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan