KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Bawaslu Periode 2017-2022 Abhan mengungkapkan, dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi selama Pemilu 2024. Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Jaga Pemilu bertajuk 'Rekap Temuan Pelanggaran Pemilu 2024' digelar Senin (12/2). Abhan, salah satu inisiator Jaga Pemilu 44 persen data yang masuk di kategori dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu.
Baca Juga: Jelang Pemilu, Intip Prediksi Rupiah Hari Ini, Selasa (13/2) "Terkait isu-isu pelaporannya, pada urutan pertama 39 persen adalah isu netralitas, 20 persen janji-janji dalam bentuk politik uang, 17 persen pelanggaran kampanye, 11 persen kasus unik lainnya, 8 persen pelanggaran administrasi, dan 5 persen intimidasi kampanye," ujar dia. Kata dia, pelanggaran yang Bawaslu terima dari Jaga Pemilu dan berbagai organisasi pemantau lainnya, adalah laporan masyarakat yang harus ditindaklanjuti. “Bawaslu punya fungsi menginvestigasi, karena itu Bawaslu harus transparan dalam upayanya menangani potensi pelanggaran yang masyarakat temukan. Ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraan,” katanya.
Baca Juga: Netralitas ASN Paling Banyak Disorot di Pemilu 2024 Bahkan, ia tidak heran jika sanksi yang diberikan kepada pelanggar netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) lemah. Ini mengingat bahwa walikota atau bupati adalah pejabat pembina kepegawaian di daerah itu. Jika ada laporan potensi pelanggaran terhadap ASN, maka dari Bawaslu laporan tersebut akan masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang akan meneruskannya kepada para pejabat pembina tersebut, yang bisa jadi justru memberi ruang bagi ketidaknetralan itu sendiri. Ia menambahkan, laporan pelanggaran ASN pada 2019 tidak terlalu banyak. Biasanya justru di pemilihan kepala daerah pelanggaran ASN justru mendominasi. Yang menarik, perlu ditelusuri apakah setelah pemilihan kepala daerah tersebut dimenangkan oleh calon yang didukung pelanggaran, apakah para subjek pelanggar itu diberi promosi.
Baca Juga: Menjaga Demokrasi “Jika mendapat promosi, artinya target dukungan yang tidak netral itu tercapai,” ungkapnya. Dari penelusuran itu terlihat adanya pergeseran pelaku kecurangan yang dulunya dilakukan oleh individu sebagai calon legislatif (caleg), sekarang kebanyakan ASN.
"Jadi memang ada pergeseran bahwa dugaan pelanggaran netralitas ASN itu tinggi. Artinya itu adanya dugaan mobilisasi biroktasi untuk kepentingan politik praktis. Itu yang bisa saya tangkap kalau betul bahwa pelanggaran netralitas ASN-nya itu tinggi," ungkapnya. Lebih lanjut, ia juga membeberkan beberapa tipologi kecurangan yang dapat terjadi di hari H seperti upaya menuai dukungan salah satu paslon di masa tenang, upaya membeli suara dengan menawarkan uang, yang dikenal dengan istilah “serangan fajar,”. "Adapun netralitas petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS), penyampaian formulir pemberitahuan memilih, pendistribusian logistik terhambat/terlambat, mobilisasi pemilih, intimidasi terhadap penyelenggara maupun pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto