PADA September 2016 lalu, maskapai penerbangan AirAsia Group untuk Indonesia memiliki bos baru. Dendy Kurniawan yang sebelumnya adalah Chief Executive Officer (CEO) Indonesia AirAsia X dipercaya untuk merangkap jabatan sebagai CEO AirAsia Group Indonesia menggantikan Sunu Widyatmoko yang dicopot pada Juni 2016 lalu. Bagi pria kelahiran Semarang, 9 Februari 1973 ini, memimpin salah satu maskapai penerbangan terkemuka di Indonesia tak pernah ada dalam pikiran sebelumnya. Pasalnya, bisnis maskapai penerbangan ini baru dimasukinya sejak Mei 2014 lalu. Namun, siapa sangka dalam singkat, Dendy bisa naik ke posisi puncak kariernya. Saat berbincang dengan KONTAN beberapa waktu lalu, Dendy menyebut dirinya sebagai sosok yang menyukai tantangan dalam karier dan pekerjaan.
Dengan orientasi tantangan tersebut, tak heran jika Dendy tak idealis dalam mencari pekerjaan. Selepas lulus dari jurusan Teknik Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada April 1996, Dendy tidak ingin menunggu pekerjaan dari latar belakang pendidikannya. Ia justru bergabung dengan perusahaan konsultan ekonomi dan keuangan bernama Econit Advisory Group di Jakarta. Perusahaan ini didirikan oleh Rizal Ramli, (mantan Menteri Koordinator bidang Maritim), Laksamana Sukardi (Mantan Menteri BUMN), Arief Arryman (Ekonom), dan MS Zulkarnaen. “Saat itu, saya langsung kerja setelah lulus April 1996. Tawaran kerja datang karena perekrutan ditawari ke kampus ITB,” kenang Dendy. Menurut Dendy, panggilan dari Econit langsung diambil meski ketika itu dirinya mengaku juga melamar pekerjaan ke Citibank yang merupakan salah satu bank asing terkemuka di Indonesia. Bidang ekonomi ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi Dendy. Buktinya, selain bekerja sebagai konsultan ekonomi, ia juga menginginkan untuk kuliah lagi di bidang ekonomi. Keinginan ini dibuktikannya dengan pengajuan beasiswa ke World Bank untuk kuliah strata dua bidang ekonomi tahun 1997 dan diterima di Columbia University, Amerika Serikat (AS). Namun karena Dendy berencana menikah tahun 1998 dan sang istri menginginkan untuk sekolah bersama, maka ia memundurkan waktu kuliahnya menjadi tahun 1999. Ia pun lantas memilih untuk kuliah di Yale University, AS, untuk mengambil gelar Master of Arts International & Development Economics dan lulus tahun 2000. Pulang ke Indonesia tahun 2000, Dendy mendapat ifakta bahwa sang bos di Econit Advisory, yakni Rizal Ramli, telah diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Menteri Koordinator bidang Ekonomi dan Industri (Menko Ekuin). Kedekatan Dendy dengan Rizal membuatnya diangkat menjadi staf khusus Menko Ekuin. Dendy bilang, Rizal sangat mengenal etos kerja dan pengalamannya dalam bidang ekonomi, sehingga tak ragu untuk memberikan jabatan tersebut. Lagipula, ia pun antusias menjalaninya. Namun, jabatan ini hanya dijalankan satu tahun karena ketika Gus Dur lengser dari kursi Presiden RI pada tahun 2001 dan digantikan Megawati Soekarno Putri, kursi Menko Ekuin juga beralih dari tangan Rizal Ramli ke Boediono. Dendy menyebut pergantian Menko Ekuin ini sejatinya tak mempengaruhi posisinya sebagai staf khusus. Namun, ia tidak memiliki kedekatan emosional dengan Boediono sehingga merasa tak nyaman bekerja di posisi ini. Akhirnya, ia melepas jabatan itu. Pada Oktober 2001, Dendy memulai debut pekerjaannya dalam industri pasar modal. Ayah tiga anak ini bergabung dengan Indokapital Securities. Pilihan Dendy bergabung dengan Indokapital ini lantaran ia adalah salah satu pemegang saham di perusahaan ini. "Saat di Econit dulu, saya sering membeli saham sehingga pekerjaan di pasar modal tak asing buat saya," ujarnya. Setahun kemudian, Dendy sukses memperoleh puncak karier perdananya sebagai Presiden Direktur Indokapital Securities. Jabatan ini dilakoninya selama empat tahun, dari 2002-2006. Pengalaman menjadi bos Indokapital disebutnya salah satu yang menyenangkan dalam perjalanan karier profesionalnya. Tahun 2006, Dendy memutuskan mencari tantangan baru di pasar modal dengan menjabat sebagai Managing Director di Infinite Capital dan bertahan hampir dua tahun. Dengan jabatan ini, Dendy merasa menambah pelajaran baru. Tak heran jika ia merasa kerasan bekerja di bidang pasar modal. Ia pun menjadi punya pengalaman bagaimana cara menanamkan investasi secara tepat. Pada April 2008, Dendy pindah ke Quant Capital Management, sebagai perusahaan manajer investasi, sebagai chairman alias pimpinan perusahaan. Menyukai tantangan Pada Agustus 2009, Dendy memulai petualangan baru dalam pekerjaannya. Ia meninggalkan bidang pasar modal yang telah digelutinya hampir delapan tahun dan masuk ke jajaran direksi perusahaan BUMN, yakni PT Geo Dipa Energi (Persero). Dendy mengungkap dirinya bisa masuk ke lingkup perusahaan pelat merah ini karena Menteri BUMN ketika itu Sofyan Djalil banyak mencari figur pengalaman di pasar modal untuk masuk ke BUMN. "Saya termasuk yang dipilih duduk di Geo Dipa Energi sebagai Direktur Keuangan,” ungkapnya. Oh iya, Geo Dipa Energi adalah BUMN yang mengembangkan bisnis pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Meskipun tak punya latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang energi, tapi Dendy tak menyerah untuk memberikan kontribusi maksimal dalam jabatannya ini. Ia berhasil melakukan renegosiasi kontrak penjualan listrik dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga lebih menguntungkan perusahaan. Selain itu, selama Dendy menjadi pengatur keuangan perusahaan, Geo Dipa Energi berhasil mengatur pinjaman untuk peningkatan kapasitas PLTP di Dieng. Lima tahun bernaung di Geo Dipa Energi dengan kinerja yang baik membuat Dendy banyak dilirik sejumlah perusahaan. Salah satu ketertarikan datang dari bos AirAsia Group Tony Fernandes. Pria berkewarganegaraan Malaysia ini menginginkan Dendy duduk sebagai Direktur Keuangan di PT Indonesia AirAsia X, yang merupakan unit usaha dari AirAsia Indonesia yang khusus melayani penerbangan ekstra AirAsia. Rencana itu pun jadi kenyataan pada Mei 2014 dan tujuh bulan kemudian, Dendy diangkat menjadi CEO AirAsia Indonesia X. Dendy mengaku tak lantas puas setelah menjadi bos AirAsia Indonesia X. Hal ini justru memacunya untuk bekerja lebih keras dan membuktikan diri layak berada di posisi ini. “Karena saya suka tantangan yang diberikan, setiap proses pekerjaan saya lakukan,” jelas Dendy. Apalagi bisnis penerbangan disebut Dendy merupakan bisnis dengan risiko tinggi di dunia baik dari sisi keuangan, operasional, dan pemasaran. Hal tersebut terlihat dengan banyaknya maskapai yang bertumbangan di Tanah Air karena kolaps akibat salah dalam pengelolaan manajemen. Bersama tim AirAsia X, Dendy membuat rute penerbangan AirAsia X ke Taipei, China, pada Januari 2015, serta mengoperasikan 10 pesawat yang terdiri dari 2 Airbus A330 dan 8 Airbus A320. Kinerja yang apik dalam mengelola AirAsia Indonesia X membuat Dendy diberikan kepercayaan lebih banyak oleh Tony. Sang taipan mengangkatnya sebagai bos AirAsia Group Indonesia pada September 2016. “Pesan Pak Tony harus profitable dan jadi perusahaan terbuka di tahun 2017,” tuturnya. Tuntutan masyarakat untuk mendapat ruang informasi yang terbuka akan maskapai penerbangan, dan pelayanan maksimal menjadi tujuan Dendy menjalankan tugas sebagai CEO AirAsia Indonesia. Dendy pun selalu optimistis ketika diminta memegang tanggung jawab CEO. “Memang tidak mudah tapi ada perencanaan matang dan strategi untuk mencapainya,” tambahnya. Dendy memiliki siasat untuk membuat AirAsia Indonesia menjadi perusahaan yang tidak kaku dan terbuka bagi para pegawainya. Dalam memimpin ribuan pegawai AirAsia, Dendy pun dua cara. Pertama, seluruh karyawan dibebaskan untuk berkreasi dan mengeluarkan ide kreatif. Tak berarti melanggar aturan yang ada melainkan ia menerapkan agar cara berpikir karyawan tidak dibatasi.
Kedua, setiap jabatan yang diberikan oleh pimpinan harus dipertanggungjawabkan. Bagi Dendy, setiap pegawai yang sudah diberi posisi atas harus bisa mengayomi dan melindungi anak buah. Sebab model pemimpin harus memberi ketenangan bukan hanya menyuruh dan menyalahkan. “Dan sebagai role model, saya juga memberi contoh untuk bisa hadapin menteri perhubungan atau masalah apapun,” katanya. Selain itu, Dendy juga menerapkan pola pemberian reward dan punishment ke para pegawainya. Tujuannya agar pegawai yang memiliki kinerja baik terus ditingkatkan dan yang lain terpacu untuk bersaing. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto