KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Mantan kuasa hukum para nasabah asuransi, Grace Bintang Hidayanti Sihotang melayangkan surat terbuka kepada DPR pasca rekaman suaranya diputar tanpa ijin di Rapat Dengar Pendapat di DPR, Senin lalu (6/12). Grace memprotes keras karena rekaman suaranya dipakai oleh seorang nasabah untuk diperdengarkan pada Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR tanpa seijin dirinya. Terkait hal tersebut, dia berencana mencadangkan langkah hukum kepada pelakunya. Menurut Grace, tidak seluruhnya laporan yang disampaikan nasabah pada RDP tersebut benar. Bahkan, saat menjadi kuasa hukum para nasabah tersebut, Grace melihat sebagian nasabah justru beritikad tidak baik terhadap perusahaan asuransi, termasuk MT selaku koordinator nasabah.
Dalam surat terbukanya yang ditujukan kepada Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto dan dimuat oleh Kompasiana, Grace menyatakan, bahwa saat masih menjadi kuasa hukum para nasabah, dia menyarankan agar nasabah yang menjadi kliennya mendahulukan proses negosiasi dan mediasi dengan pihak asuransi.
Baca Juga: AAJI: Proses perekaman saat penawaran produk asuransi itu efektif Hal itu berdasarkan ketentuan SE OJK No 2/POJK 07/2014 tentang Pelayanan dan Pengaduan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan SE OJK No 61/POJK 07/2020 tentang Lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa. Aturan ini untuk mendukung konsep restorative justice. "Jadi, saya mendahulukan melakukan hal ini. Karena hukum tidak melulu tentang masalah konfrontasi, kekerasan dan proses pengadilan, tapi konsep penyelesaian hukum yang paling baik adalah tercapainya perdamaian," ujar Grace dalam keterangannya, Rabu (8/12) Langkah negosiasi dan mediasi tersebut diusulkan Grace, lantaran para nasabah yang menjadi kliennya tidak mau mengeluarkan dana sebagai biaya untuk proses sidang di pengadilan.
Baca Juga: Korban asuransi desak DPR dan OJK benahi kejahatan asuransi Unitlink di Indonesia Usulan tersebut juga sudah sesuai hasil pertemuan dengan OJK yang menyarankan adanya upaya damai terlebih dahulu, dan bahkan proses di LAPS pun harus melalui proses Internal
Dispute Resolution yang diatur dalam SE OJK No 2/ POJK 07/ 2014 tersebut. Namun, sebagian nasabah tidak bersedia menempuh upaya mediasi tersebut. Bahkan, oleh koordinator dan sejumlah nasabah lainnya, Grace malah didesak untuk mengirim surat somasi dan segera menempuh langkah hukum terhadap perusahaan asuransi. Lebih dari itu, menurut Grace, para nasabah tersebut lebih memilih menggunakan cara konfrontatif, kekerasan dan demonstrasi. Grace yang juga berprofesi sebagai dosen mata kuliah Tindak Pidana Ekonomi di Universitas Terbuka itu, menegaskan, rata-rata nasabah tidak memiliki bukti kuat terkait kesalahan yang dilakukan perusahaan asuransi yang diadukan. Bahkan, kata dia, sebagian nasabah sudah menutup polis asuransinya jauh sebelum adanya model penjualan secara bancassurance di Indonesia.
Agen penjual
Untuk itu, lanjut Grace, karena nasabah tidak mau mengeluarkan biaya untuk menempuh langkah hukum dan tidak memiliki bukti-bukti hukum kuat, akhirnya sebagian nasabah sepakat untuk menempuh upaya negosiasi, dan masalahnya telah selesai dengan baik. Menurut Grace, setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata tuntutan sebagian nasabah tersebut banyak yang tidak masuk akal. "Banyak hal-hal ganjil yang harus diteliti dari tindakan nasabah. Diantaranya seperti, banyak polis nasabah yang sudah dibuat sebelum produk bancassurance ada," imbuh Grace yang juga berprofesi sebagai pengacara dari kantor hukum HSP Law tersebut. Bahkan, ada yang sampai membuat surat keterangan kidal dari rumahsakit demi agar uangnya dikembalikan. Selain itu, ada nasabah yang mengaku data dan tandatangannya dipalsukan, namun setelah diselidiki, ternyata yang bersangkutan memiliki dua KTP berbeda.
Baca Juga: Tahun Depan, Asuransi Jiwa Memasang Target Tinggi Di sisi lain, Grace melihat bahwa munculnya masalah penjualan asuransi ini sebagian besar bersumber dari agen penjual. Anehnya, para nasabah tersebut menuntut agar perusahaan bertanggungjawab terhadap kesalahan agen. Padahal, kata Grace, perjanjian keagenan adalah perjanjian lastgeving (KUHPerdata), yaitu sama dengan pemberian kuasa. Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, tindak pidana yang dilakukan oleh agen penjual tidak menjadi tanggungjawab perusahaan. Hal ini sesuai dengan aturan yang tertuang dalam UU Asuransi. Grace mengklaim, pernyataannya yang dituangkan dalam aduan kepada pimpinan DPR merupakan inisiatif pribadi, tanpa paksaan pihak manapun.
Baca Juga: Pandemi belum usai, klaim tebus polis asuransi jiwa masih terus meningkat "Saya melakukan ini atas kemauan dan kesadaran saya sendiri, sebagai bentuk tanggung jawab saya selaku praktisi hukum sekaligus akademisi untuk mengungkap kebenaran dan keadilan," tandas Grace. Sebelumnya, nasabah sejumlah perusahaan asuransi yang mengatasnamakan dirinya sebagai Komunitas Korban Asuransi, melakukan audiensi bersama Komisi XI DPR dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Senin lalu (6/12). Para nasabah itu mengeluhkan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit-link. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan