JAKARTA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut lima tahun penjara dan denda Rp 5 miliar atau subsider enam bulan terhadap terdakwa mantan Wakil Pimpinan Wilayah Bank Rakyat Indonesia (Wapimwil BRI) Jakarta II Rachman Arif terkait pemalsuan 59 Kilogram emas milik nasabah Ratna Dewi. "Perbuatan terdakwa (Rachman Arif) melanggar karena dalam setiap tahapan harus mendapatkan prinsip kehati-hatian," kata JPU Diah Ayu saat sidang agenda tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Kamis (30/1/2014). Diah menilai Rachman Arif melanggar tindak pidana karena terdapat unsur tidak hati-hati dengan jeratan Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 tentang pemalsuan dokumen. Jaksa menduga terdakwa mengubah surat asli sebagai sarana mengelabui orang lain yang menimbulkan potensi kerugian bagi nasabah BRI. Surat palsu itu dipergunakan terdakwa untuk memakai dan atau menyuruh orang lain sebagai kepentingan pribadi. Diah menyatakan pihak pimpinan BRI harus mengikuti proses perbankan secara profesional dalam melayani, serta menjaga aset nasabah. Pihak BRI juga harus membuat kebijakan secara tertulis dan mengedepankan kehati-hatian dalam memproses kredit bagi nasabah. Jaksa menuturkan pihak Bank wajib menjunjung Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang pemberian kredit harus berlandaskan prinsip kehati-hatian.
Mantan pejabat BRI dituntut 5 tahun penjara
JAKARTA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut lima tahun penjara dan denda Rp 5 miliar atau subsider enam bulan terhadap terdakwa mantan Wakil Pimpinan Wilayah Bank Rakyat Indonesia (Wapimwil BRI) Jakarta II Rachman Arif terkait pemalsuan 59 Kilogram emas milik nasabah Ratna Dewi. "Perbuatan terdakwa (Rachman Arif) melanggar karena dalam setiap tahapan harus mendapatkan prinsip kehati-hatian," kata JPU Diah Ayu saat sidang agenda tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Kamis (30/1/2014). Diah menilai Rachman Arif melanggar tindak pidana karena terdapat unsur tidak hati-hati dengan jeratan Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 tentang pemalsuan dokumen. Jaksa menduga terdakwa mengubah surat asli sebagai sarana mengelabui orang lain yang menimbulkan potensi kerugian bagi nasabah BRI. Surat palsu itu dipergunakan terdakwa untuk memakai dan atau menyuruh orang lain sebagai kepentingan pribadi. Diah menyatakan pihak pimpinan BRI harus mengikuti proses perbankan secara profesional dalam melayani, serta menjaga aset nasabah. Pihak BRI juga harus membuat kebijakan secara tertulis dan mengedepankan kehati-hatian dalam memproses kredit bagi nasabah. Jaksa menuturkan pihak Bank wajib menjunjung Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang pemberian kredit harus berlandaskan prinsip kehati-hatian.