Mantra literasi penangkal noda demokrasi



Masa kampanye pilpres dimulai, hilir masih jauh untuk dikayuh. Namun terasa jeram mulai mengadang. Sejak pemilihan umum nasional tahun 2009 dan tahun 2014 ada gelanggang baru untuk penggalangan massa. Jika sebelumnya kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan terbuka menjadi arena utama kini media sosial jadi ranah baru.

Dapat dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat perjumpaan massa, mendapat saingan berat dengan adanya media sosial, yang telah menghasilkan lapangan baru untuk berkompetisi, saling cari simpati, debat juga mencerca para pesaing. Pertanyaan kemudian adalah ketika media sosial makin berkembang dan mulai mengungguli pertemuan massal yang bersifat fisik, apakah kompetisi atau kontestasi politik berjalan baik atau sebaliknya?

Atau dengan narasi lain, apakah media sosial telah menisbahkan hal positif yang efektif bagi situasi demokrasi deliberatif. Sebab sekedar memanggil ingatan pengerahan massa lewat pawai meninggalkan noda demokrasi dalam wujud keributan, anarkis serta bentrokan dari benturan kelompok massa.


Untuk menjawab pertanyaan diatas dalam konteks pemilihan umum tahun 2019, dapat kita berpijak pada teori kritis dari Jurgen Habermas dimana teori ini ditawarkan pertama kali oleh generasi Mazhab Frankrut (Frankruter Schule) yang dibangkitkan lagi oleh beliau dengan paradigma baru.

Dalam teori tersebut dikatakan bahwa konektivitas sosial media akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter, tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi. Sosmed bisa berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global dan menghubungkan orang agar suara mereka didengar. Tapi dapat menjadi ancaman demokrasi dan pluralisme.

Terasa tak berlebihan jika majalah asal Inggris, The Economist, dalam edisi 4 November-10 November 2017 sampai menulis headline Social medias threat to democracy? Ingin menunjukkan paradok dari sosial media dijadikan alarm media tersebut. Faktanya memang sosmed bisa bermanfaat untuk kebaikan bermuara pada kedewasaan demokrasi, tapi bisa juga disalahgunakan. Ada beberapa contoh peran besar sosmed yang mampu mempengaruhi situasi politik suatu negara.

Pada 6 April 2009 di Moldova, demonstran memprotes hasil pemilihan legislatif di Moldova yang dimenangkan Partai Komunis Republik Moldova. Kemenangan partai tersebut, dianggap palsu. Demonstran menghendaki adanya perhitungan ulang pada proses demokrasi itu. Sebagian besar demonstran, memanfaatkan Twitter untuk berdiskusi dan mengorganisir massa dan perjuangan mereka.

Di Mesir pada tahun 2011, tumbangnya sang penguasa Presiden Husni Mubarak berawal dari peran sosmed. Protes terhadap pemerintah oleh seorang bloger Mahmod Salem, pada akun pribadinya rupanya menjadi bara yang menyemangati para demonstran.

Di Hong Kong, wilayah independen Cina, aksi protes dengan memanfaatkan media sosial terjadi tahun 2014. Kala itu, masyarakat Hong Kong marah atas dihapuskannya pemilihan kepala pemerintahan Hong Kong secara langsung. Masyarakat Hong Kong, yang dipelopori para pemuda, memanfaatkan media sosial untuk menggalang kekuatan aksi massa.

Aksi massa mendapat balasan yang cukup kuat dari aparat setempat dengan menyemprotkan air, gas air mata, serta bubuk merica. Para demonstran membekali diri mereka dengan payung sebagai alat perlindungan. Payung yang dibawa tersebut, kemudian menjadi simbol perlawanan.

Sementara di Jerman, partai ultra kanan mendapatkan 12,6% kursi di parlemen dengan cara menyebarkan ketakutan melalui sosmed bahwa para pengungsi dari Suriah mendapat lebih banyak keuntungan dari orang asli Jerman sendiri.

Mantra literasi

Di Rusia, Presiden Putin memanfaatkan sosmed sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman. Bahkan Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat yang diduga melibatkan Rusia (Sulistyo,28/11/2017).

Bagaimana dengan Indonesia? Tidak bisa dipungkiri suhu media sosial dari hari ke hari menjelang pesta demokrasi semakin menghangat. Mulai dari serang opini hingga perang tagar (hashtag) terjadi. Kita akan melihat media sosial bakal semakin masif dipergunakan politisi, pendukung, dan elemen lainnya untuk memenangi pertarungan politik. Rasanya kita harus jujur untuk mengatakan media sosial turut menjadi jelaga demokrasi ketika perbedaan pilihan terhadap kontestan calon presiden menjadi palagan antarkelompok.

W James Potter menulis Media Literacy (2013, 6th Ed) dan ia mengatakan literasi awalnya merujuk pada kemampuan seseorang untuk membaca bahan yang tertulis. Dalam perkembangannya literasi berkembang menjadi visual literacy, story literacy, computer literacy, dan kini digital media literacy.

Jadi digital media literacy berarti kemampuan seseorang untuk bisa memproses informasi yang datang dari aneka jenis platform (mulai yang mainstream hingga yang digital).

Satu hal yang ditekankan Potter-walau ia mengambil sisi yang lebih seimbang-konsep media literacy berangkat dari asumsi media itu bisa merusak. Namun, Potter mencoba ingin menyeimbangkan pendapat bahwa media bisa merusak, tapi media juga bisa membantu, bisa mencerahkan, bisa berguna, dan lain-lain (Haryanto,09/12/2017 ).

Dengan pengetahuan serta ketrampilan digital media literasi, kita akan diajak untuk menggunakan media secara bijak, tidak jatuh dalam perangkap menyebarluaskan ungkapan kebencian (hate speech), tidak jadi konsumen dan distributor hoaks. Sebaliknya, bisa menjadi peredam efek negatif media sosial dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih produktif dan bermanfaat dari media sosial yang kita miliki, dan kita pakai sehari-hari.

Sudah saatnya kita mengembalikan lagi peran dan fungsi sosial media, dimana propaganda, ujaran kebencian, hoaks dengan tujuan saling menjatuhkan adalah penumpang gelap dari kemajuan teknologi. Memperalat media sosial untuk kepentingan politik semata harus diakhiri.Harapan terhadap peran media sosial kembali kita sematkan sebagai sesuatu yang mencerahkan, punya kekuatan, kecepatan dan daya jangkau luas. Hingga kegembiraan pesta demokrasi dapat benar-benar kita rayakan tanpa terus membangun jurang perbedaan serta tembok pertentangan hanya karena pilihan-pilihan politik.•

Dhanny S. Sutopo Dosen FISIP Universitas Brawijaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi