Manulife Aset Manajemen: Indonesia Jauh dari Kemungkinan Resesi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) meyakini Indonesia mampu bersaing saat ekonomi global diproyeksi melambat. Tekanan terhadap rupiah diprediksi akan mereda dan inflasi bisa lebih terkendali.

Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan melihat bahwa outlook pertumbuhan ekonomi global memang akan melemah dan ada potensi resesi ekonomi di kawasan negara maju.

"Inflasi yang berkepanjangan dan sektor tenaga kerja yang masih kuat mendorong The Fed untuk mengindikasikan bahwa pengetatan moneter belum akan dikendurkan dalam waktu dekat," ujar Katarina dalam acara Indonesia Market Outlook 2023 secara daring, Selasa (17/1).


Imbasnya, pertumbuhan ekonomi global dapat terdampak. Arah kebijakan The Fed masih tetap menjadi perhatian pasar dan dapat menyebabkan volatilitas dalam jangka pendek.

Baca Juga: Suku Bunga Tinggi, Pasar Obligasi Masih Moncer di Tahun 2023

Sementara, Katarina berujar bahwa kondisi di pasar Asia berbeda dengan pasar global. Di kawasan Asia justru terjadi perbaikan sentimen. Risiko resesi negara-negara di kawasan Asia juga lebih rendah. 

Hal tersebut disebabkan oleh relatif rendahnya kenaikan suku bunga di kawasan pada tahun lalu dan inflasi lebih terkendali. Selain itu, relaksasi kebijakan Zero Covid di China membawa dampak positif yang berantai bagi ekonomi Asia. 

Buktinya, nilai tukar mata uang negara-negara di Asia mulai tertopang dengan meredanya penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Perbaikan sentimen di kawasan Asia mendorong terjadinya perpindahan investor dari kawasan yang sudah berkinerja unggul menuju kawasan yang dianggap telah jenuh jual (oversold). 

Efeknya dirasakan di pasar saham Indonesia, dimana arus dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia di sepanjang tahun 2022 tercatat sebesar US$ 4,4 miliar. Namun di akhir tahun lalu, dana asing terlihat bergerak keluar dari pasar saham Indonesia sebesar US$ 0,4 miliar pada kuartal keempat 2022.

Baca Juga: Market Outlook MAMI 2023: Indonesia Masih Dalam Siklus Pemulihan Ekonomi

Secara umum, lanjut Katarina, pembukaan kembali perekonomian China dapat berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia karena China merupakan mitra dagang utama dari Indonesia. Dari pasar domestik, proyeksi perlambatan ekonomi global dan berkurangnya besaran kenaikan Fed Rate akan mengurangi tekanan terhadap Rupiah di tahun ini. 

Meningkatnya likuiditas valas pada perbankan dalam negeri, seiring dengan naiknya tingkat suku bunga deposito valas terutama untuk eksportir turut menopang kenaikan cadangan devisa di bulan November 2022 dan pada akhirnya ikut menopang stabilitas nilai tukar rupiah.

Selain itu, pada tahun ini inflasi diperkirakan akan lebih terkendali seiring dengan normalisasi harga komoditas dan semakin meredanya lonjakan kenaikan harga akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di 2022. 

"Dengan fundamental makro ekonomi Indonesia yang kuat dan imbal hasil obligasi Indonesia yang menarik, tentunya kedua hal ini akan ikut mendorong kuatnya arus masuk dana asing ke pasar obligasi Indonesia,” ungkap Katarina.

Baca Juga: Profit Taking di Pasar Saham, Dana Asing Masih Beredar di Dalam Negeri

Lebih lanjut, Katarina mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih relatif stabil dan cukup jauh dari kemungkinan resesi yang mengancam kawasan negara maju. Ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik yang terjaga.

Pasalnya, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang tinggi untuk tahun 2023 juga menjadi salah satu faktor yang dapat mendukung daya beli konsumen di tahun depan.

Selain itu, inflasi di Indonesia juga terjaga dengan relatif baik. Di sepanjang tahun 2022, inflasi umum tercatat sebesar 5,51% year-on-year (YoY) sedangkan inflasi inti stabil di kisaran 3,36% YoY. 

Baca Juga: Pasar Obligasi Semarak, Penawaran Lelang SUN Hari Ini Tembus Rp 59 Triliun

Menurut Katarina, penyebab utama tren penurunan inflasi di Indonesia yaitu stabilitas harga pangan dan berkurangnya second round effect dari kenaikan harga BBM.

Dalam jangka panjang, stabilitas eksternal Indonesia didukung oleh meningkatnya ekspor logam dasar dan maraknya penanaman modal pada sektor logam dasar serta pertambangan, yang sudah mulai terlihat sejak 2022. 

"Hal tersebut akan menopang neraca transaksi berjalan serta nilai tukar rupiah lebih lagi ke depannya," tandas Katarina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati