KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham Indonesia masih tangguh di tengah volatilitas pasar global akibat isu resesi Amerika Serikat (AS). Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Samuel Kesuma memandang bahwa risiko dari resesi sudah terukur. Resesi ekonomi biasanya disebabkan kejadian tidak terduga seperti perang, lonjakan harga komoditas, gagalnya sistem finansial, atau pandemi yang menyebabkan tekanan negatif bagi ekonomi dan pasar finansial. Namun berbeda dengan episode resesi sebelumnya yang cenderung mengejutkan, kali ini pasar secara bertahap sudah memperhitungkan terjadinya resesi. Hal itu terlihat dari pelemahan indeks S&P 500 yang sudah turun 19% di 2022.
“Harapannya adalah dengan pasar yang sudah memperkirakan kondisi resesi dari tahun lalu, maka risiko pelemahan pasar lebih lanjut di tahun ini dapat lebih terbatas,” ungkap Samuel dalam siaran pers, Kamis (18/5).
Baca Juga: Investor Asing Mencatat Net Buy Saat IHSG Turun ke 6.663 pada Rabu (17/5) Faktor lain yang menjadi dukungan bagi pasar adalah harapan bahwa resesi yang terjadi adalah resesi ringan. Sektor tenaga kerja AS yang resilien dan excess saving masyarakat AS dari periode pandemi lalu dapat menjadi bantalan yang menopang tingkat konsumsi. Riset JPMorgan mengindikasikan masih terdapat excess saving US$ 900 miliar di masyarakat AS, dari stimulus dan tabungan yang meningkat ketika pandemi. Samuel melihat pasar saham di sepanjang tahun ini dibayangi oleh beberapa faktor seperti ketidakpastian arah suku bunga The Fed, kejutan dari jatuhnya beberapa perbankan di AS, serta kekhawatiran resesi ekonomi. Positifnya, The Fed diperkirakan sudah mencapai puncak suku bunganya di rapat Mei 2023 lalu sehingga mengurangi faktor ketidakpastian bagi pasar. Hanya saja, dalam jangka pendek diperkirakan masih terdapat ketidakpastian terkait kondisi perbankan regional AS dan pelemahan ekonomi lebih lanjut yang dapat menyebabkan volatilitas di pasar. Walaupun demikian, Manulife mencermati kondisi resesi tidak berdampak serius terhadap pelemahan ekonomi di Amerika, baik dari sisi perdagangan yang melemah maupun dari sisi arus dana di pasar finansial. Kali ini kondisi cukup berbeda di Asia, di mana ekspektasi pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan tetap resilien. Samuel menjelaskan, pembukaan ekonomi pasca lockdown Covid-19 menjadi faktor pendukung ekonomi domestik di kawasan Asia. Hal itu sejalan dengan proyeksi International Monetary Fund (IMF) yang merevisi naik proyeksi ekonomi Asia menjadi 4.6% di 2023 dari sebelumnya 4.3% karena didorong pemulihan ekonomi China dan ekonomi India yang resilien. Daya tarik Asia juga didukung oleh tren pelemahan dollar AS seiring dengan ekspektasi The Fed sudah mendekati siklus puncak suku bunga dan ekspektasi pelemahan ekonomi di kawasan negara maju. Ini secara otomatis menjadikan kawasan Asia relatif lebih menarik. “Sepanjang tahun ini arus dana asing ke pasar saham Asia tetap positif, mengindikasikan pandangan investor yang konstruktif terhadap Asia,” ungkap Samuel. Terkhusus pasar keuangan Indonesia, Manulife melihat kondisi makroekonomi Indonesia pada posisi yang kuat menghadapi risiko resesi ekonomi AS. Berlawanan dengan kondisi AS yang melemah, Indonesia sedang dalam kondisi pemulihan ekonomi seiring pembukaan kembali ekonomi pasca pandemi Covid. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan momentum pemulihan seperti penjualan ritel, penjualan otomotif, dan aktivitas manufaktur. Selain itu ekonomi Indonesia juga ditopang oleh pemulihan ekonomi China yang merupakan negara mitra dagang terbesar Indonesia. Samuel berujar, potensi meningkatnya permintaan dari China diharapkan dapat memitigasi risiko melambatnya permintaan dari kawasan negara maju. Ekspor Indonesia ke China mencapai 25% dari total ekspor, lebih besar dari ekspor ke Amerika di kisaran 9%. Kondisi ekonomi Indonesia yang stabil juga menjadi faktor positif bagi arus dana asing yang sepanjang tahun ini mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi Indonesia sehingga mengurangi risiko defisit bagi neraca pembayaran Indonesia. Menurut Samuel, stabilitas kondisi domestik merupakan fondasi untuk mendukung kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia. Pasar Indonesia sangat potensial didukung faktor seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi yang menurun dan nilai tukar Rupiah yang stabil. Sementara dari sisi global, salah satu faktor ketidakpastian telah berkurang. The Fed diperkirakan sudah mencapai puncak suku bunganya sehingga dapat mendukung sentimen investor. Potensi katalis bagi pasar adalah apabila terdapat indikasi bahwa The Fed mulai mempertimbangkan untuk melakukan pemangkasan suku bunga, atau apabila terdapat indikasi bahwa pelemahan ekonomi di AS lebih terbatas dari ekspektasi pasar. Faktor lain yang dapat dipertimbangkan investor adalah tingkat valuasi pasar saham Indonesia saat ini yang atraktif. Price Earning Ratio (PER) Indeks Harga Saham Gabunga (IHSG) saat ini di kisaran 13 kali yang masih di bawah rata-rata 15x kali, sehingga menawarkan titik masuk menarik bagi investor. Momentum pendapatan emiten diyakini tetap positif di kuartal I-2023 yang didukung oleh perbaikan aktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang resilien akan menjadi katalis bagi pertumbuhan pendapatan emiten tahun ini. Manulife Aset Manajemen Indonesia memperkirakan pertumbuhan earnings sekitar 6% di tahun ini. Di tengah volatilitas global, strategi portofolio semestinya diarahkan pada sektor yang diuntungkan dari pemulihan ekonomi domestik, potensi pertumbuhan struktural jangka panjang Indonesia, dan periode puncak suku bunga. Samuel mengungkapkan, beberapa sektor yang menangkap peluang tersebut adalah sektor finansial yang merupakan proksi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan neraca yang konservatif dibanding emiten perbankan di negara maju.
Sektor yang berhubungan dengan green economy merupakan unggulan karena diuntungkan dari tren jangka panjang dekarbonisasi dan meningkatnya adopsi teknologi energi terbarukan. Sementara itu, sektor teknologi berpotensi diuntungkan dari strategi sebagian besar perusahaan yang saat ini lebih berfokus pada profitabilitas. Serta, semakin jelasnya kebijakan The Fed sudah mencapai puncak suku bunga.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Teknikal BBNI, ANTM, dan UNVR untuk Perdagangan, Jumat (19/5) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat