KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Maraknya penipuan berkedok penawaran investasi maupun penawaran pinjaman di tengah masyarakat melalui grup pesan singkat telah memakan banyak korban, namun hal yang serupa tetap saja terus terjadi. Tidak jarang, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut menduplikasi dan mencatut atau mengatasnamakan penyelenggara
fintech berizin untuk mengelabui masyarakat. Aldi Haryo Pratomo, Wakil Ketua II Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menjelaskan, penyebab utamanya adalah bahwa literasi keuangan terutama digital di masyarakat masih rendah saat ini. Menurutnya, angka survei terakhir menunjukkan bahwa literasi keuangan digital masih sekitar 35,5% padahal secara perkembangan industri sudah sangat pesat, indeks inklusi sudah sampai lebih dari 76%.
Baca Juga: Pelaku sistem pembayaran siap penuhi aturan modal inti dari BI "Kita bisa lihat sendiri dengan majunya investasi dari pasar modal, penting sekali untuk bersama-sama melakukan kampanye ke masyarakat. Jadi menurut saya salah satu cara kita menyelesaikan ini adalah gotong royong baik dari pelaku industri seperti Aftech, kita juga sudah melihat OJK, BI dan Kominfo sudah mulai gotong-royong untuk mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat," ungkap Aldi saat konferensi pers virtual, Kamis (15/7). Menurutnya, ini adalah kombinasi dari literasi keuangan yang masih relatif rendah sehingga banyak orang yang rentan untuk bisa tergiur tawaran-tawaran yang menarik bagi mereka di masa sulit ini jadi yang paling penting harus sama-sama mengajak masyarakat untuk lebih
aware dan memastikan hal ini menjadi standar semua orang kalau mendapat tawaran untuk langsung melihat
fintech-nya apakah resmi atau bukan. Aldi melanjutkan, perkembangan teknologi sangat membutuhkan edukasi dan saat ini harus mengejar dari angka yang 35,5% supaya mayoritas yang sudah masuk ke industri keuangan itu bisa melek teknologi sehingga mereka tidak terjebak pinjol ilegal. Marshall Pribadi Wakil Ketua Umum IV Aftech menambahkan, sepanjang Juli 2021, Satgas OJK sudah memblokir kurang lebih 172 platform pinjol ilegal dan tidak jarang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab ini sudah menduplikasi dan mencatut atau mengatasnamakan
fintech berizin untuk menipu dan mengelabui masyarakat.
Baca Juga: Lebih efisien, Bank Neo Commerce optimalkan kolaborasi dengan ekosistem Alibaba Group "Tindakan penipuan ini tentu saja merugikan penyelenggara fintech yang telah berizin makanya hari ini kita sama-sama bergotong-royong untuk meningkatkan
awareness masyarakat melalui edukasi meningkatkan literasi keuangan di masyarakat karena jangan sampai pihak-pihak masyarakat dirugikan, industri keuangan juga turut dirugikan," kata Marshall.
Marshall menjelaskan cara membedakan
fintech asli dan palsu. Kata Marshall, yang pertama untuk saat ini paling tidak perusahaan-perusahaan
fintech resmi ini tidak melakukan penawaran dengan mentransfer melalui sosial media dalam konteks
grup chat. "Jadi kalau misalnya ada penawaran dari grup chat dari telegram atau WhatsApp itu sudah dipastikan adalah
fraud sehingga dimohon masyarakat kalau ada penawaran dari grup
chat cek dulu ke
website cekfintech.id. fintech resmi tidak mengenal istilah
down payment. Jadi kalau sudah ada yang namanya
down payment untuk investasi itu sudah harus patut waspada dan dicek karena kemungkinan besar itu adalah ilegal," ungkap Marshall. Terakhir kata Marshall yaitu,
fintech yang resmi tidak mungkin mentransfer dana ke rekening atas nama perorangan atau pribadi pasti ke rekening
virtual account atas nama badan usaha atau PT, jadi lihat lagi nama PT-nya apakah sudah terdaftar oleh regulator, OJK, Bappebti dan sebagainya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi