KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi corona yang sudah berlangsung selama tujuh bulan ini, makin memberati roda ekonomi berputar. Hal ini tampak dari rasio kredit bermasalah yang terus meningkat. Tengok saja, rasio Non Performing Loan (NPL) gross per Agustus ada pada 3,22%, naik dibandingkan dengan rasio di Juli yang 3,11%. Tren kenaikan NPL ini sudah terjadi sejak bulan April. Dari sini terlihat, upaya otoritas keuangan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi tak mampu menahan tekanan gelombang kredit bermasalah. Pasalnya, ada debitur yang bisnisnya tak bisa diselamatkan, kendati sudah dilakukan restrukturisasi kredit sehigga buntutnya macet.
Otoritas keuangan meminta bank memberikan restrukturisasi hanya kepada debitur yang bisnisnya masih berjalan dan punya prospek. Debitur begini juga layak diberi tambahan kredit supaya bisnisnya berputar lebih kencang. Namun, Perbanas mengkhawatirkan risiko kenaikan kredit bermasalah setahun ke depan atau lebih. “Bagaimana setelah periode restrukturisasi selesai,” ujar Pahala N. Mansury, Wakil Ketua Umum Perbanas. Bank jelas ingin menekan risiko. Mereka hanya menyalurkan kredit pada sektor yang dianggap potensial. Lebih lagi, Indonesia sudah jelas masuk jurang resesi. Kalangan bank harus menyiapkan diri untuk mengantisipasi masa-masa mendatang.
Baca Juga: Harga emas sungguh-sungguh bikin market cemas! Program restrukturisasi telah menggerus rasio kecukupan modal CAR perbankan. Sampai Juli 2020 CAR bank umum konvensional adalah 23,03%, naik dibandingkan Juni 2020 yang sebesar 22,55%. Kalau dibandingkan, Juli 2019 CAR bank umum konvensional adalah 23,19%. Penurunan CAR karena program restrukturisasi yang dijalankan perbankan, pemupukan cadagngan awal tahun untuk mengantisipasi dampak pandemi, dan kenaikan NPL di atas. Apakah kondisi bank cukup kuat menghadapi masa resesi? Sementara resesi merupakan momok bagi perusahaan dan pekerja. Reseni mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas sektor ekonomi. Terjadinya resesi ekonomi menimbulkan efek domino bagi lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Daya beli masyarakat yang melemah dan kalangan menengah atas menahan konsumsi, di sisi lain, perusahan tidak bisa beroperasi penuh karena protokol kesehatan. “Akibatnya, perusahaan bisa menjadi zombie companies,” ujar ekonom Muhammad Chatib Basri. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kian marak. Kemnaker memprediksi, sampai akhir tahun, jumlah PHK bisa meningkat hingga mencapai 5,32 juta orang. Pada awal 2020 lalu, menuurt BPS, jumlah pengangguran mencapai 6,8 juta. Alhasil selama ini tahun, jumlah pengangguran bisa lebih dari 12 juta jiwa.
Di tengah ancaman kenaikan angka pengangguran, pemerintah gencar memberikan bansos bagi mereka yang terdampak pandemic. Baru-baru ini, Pemerinah menambah anggaran perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional, mejadi sebesar Rp 242,01 triliun.
Baca Juga: Harga emas sungguh-sungguh bikin market cemas! Dana ini akan mengalir ke program stimulus yang sudah berjalan, ditambah beberapa yang baru sepertu subsidi gaji guru honorer, subsidi kuota internet, dan perpanjangan diskon listrik. Raden Pardede, Sekretaris Komite Penanganan Covid19 Pemulihan Ekonomi Nasional, Pemerintah masih melakukan kajian atas usulan beberapa program baru, khususnya yang mampu menopang kehidupan masyarakat berpeghasilan rendah. Pemerintah juga melakukan realokasi anggaran, dari program padat karya, pembelian vaksin yang belum ada sampai sekarang, serta proyek infrastruktur. “Kita tidak mau uang yang ada tidak terserap,” ujar Raden.
Masalahnya, apakah semua dana yang dianggarkan Pemerintah ini efektif membantu rakyat yang jadi korban PHK? Bagaimana realisasinya? Sederet pertanyaan itu akan Anda temukan jawabannya di:
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hasbi Maulana