Mardiasmo, Wakil Menteri Keuangan: Kami tak beri ruang defisit terjadi di BPJS



BPJS Kesehatan masih belum bisa lepas dari masalah klasik: defisit anggaran. Bahkan, problem ini semakin membesar dari tahun ke tahun. Meski sudah banyak mengeluarkan jurus, tetap saja mereka mengalami defisit dan angkanya membengkak.

Alhasil, pemerintah harus bolak-balik menutup lubang defisit BPJS Kesehatan. Tapi, untuk tahun ini, pemerintah tidak sekadar mengeluarkan dana cadangan juga berusaha menekan defisit BPJS. Bahkan, pemerintah pun berupaya mendorong daerah untuk membayar iuran tepat waktu.

Bagaimana cara pemerintah menutup defisit BPJS yang membesar tahun ini? Apa langkah pemerintah untuk mengurangi defisit? Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengungkapkannya kepada Wartawan Tabloid KONTAN Nina Dwiantka, Senin (24/9) lalu.


Berikut nukilannya:

KONTAN: Berapa, sih, sebenarnya defisit BPJS? MARDIASMO: Kami mengacu pada angka Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yakni sekitar Rp 10,9 triliun atau pasnya Rp 11 triliun.

Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan BPJS Kesehatan akan selalu berkoordinasi setiap bulan. Karena, hitungan BPKP dengan BPJS ada perbedaan sebesar Rp 6 triliun.

Hitungan BPJS, kan, mencapai Rp 16 triliun. Kami akan lihat realisasinya, karena itu perhitungan defisit hingga akhir tahun 2018.

KONTAN: Lalu, berapa dana cadangan yang pemerintah siapkan untuk BPJS? MARDIASMO: Kami menyiapkan dana cadangan untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp 4,993 triliun. Senin (24/9) lalu, dana cadangan untuk BPJS Kesehatan tersebut sudah cair. Rekening kas negara telah melakukan transfer dana ke rekening BPJS Kesehatan.

Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program JKN, BPJS Kesehatan diberikan waktu paling lama lima hari setelah mendapatkan transfer dana dari rekening kas negara untuk melakukan pembayaran kepada pihak yang sudah mengajukan klaim seperti rumahsakit.

KONTAN: Masih kurang, dong, untuk menutup defisit BPJS, bahkan untuk angka sesuai hasil audit BPKP? MARDIASMO: Dalam bauran kebijakan, ada dana dari pajak rokok, manajemen klaim, dan tingkat kolektibilitas sekitar Rp 2 triliun sampai Rp 3 triliun. Sehingga, dengan penggabungan ini terdapat dana Rp 8 triliun untuk BPJS Kesehatan.

Lalu, kami akan coba optimalkan dana kapitasi, yaitu dana yang diberikan BPJS Kesehatan ke puskesmas. Ada temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang perlu kami tindak lanjuti.

Dalam waktu dekat, kami akan undang BPK sebagai auditor, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, pemda, puskesmas, BPJS Kesehatan pusat, BPJS Kesehatan wilayah, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk meminta keterangan soal dana ini.

KONTAN: Hasil temuan BPK seperti apa persisnya? MARDIASMO: Katanya, dana kapitasi menjadi sisa lebih perhitungan anggaran atau Silpa di puskemas, dengan sisa yang lebih dan tidak bisa digunakan.

Secara nasional, dari seluruh puskesmas di Indonesia, saya dapat laporan dari BPJS Kesehatan, dana Silpa tersebut nilainya mencapai Rp 3 triliun, tapi itu angka agregat, ya.

Dilihat dari jumlah yang akan dilayani di puskesmas dan persentasinya, terdapat dana yang mengendap karena tidak semua digunakan. Kami ingin melihat data persisnya, berapa yang dilayani dan tidak dilayani.

Puskesmas merupakan bagian dari pemda atau badan layanan umum daerah (BLUD). Kewajiban pemda di sini adalah memberikan pelayan utama di puskesmas. Untuk memperbaiki layanan puskesmas, perlu ada dokter dan obat sehingga fasilitas kesehatan tingkat pertama itu menjadi layak.

Dengan puskesmas yang layak, akan mendorong masyarakat untuk datang. Jangan sampai, baru sakit sedikit langsung datang ke rumahsakit. Apalagi, datang ke rumahsakit besar, seperti RS Harapan Kita dan RSCM. Soalnya, setiap rujukan, kan, ada tahapannya.

Pertama-tama, pasien diarahkan datang ke puskesmas terlebih dahulu. Setelah itu, bisa dirujuk ke rumahsakit daerah atau kabupaten. Jika belum tuntas, bisa datang ke rumahsakit provinsi.

Kalau tidak selesai juga, pasien baru bisa datang ke rumahsakit pusat vertikal di daerah, seperti RSUP Dr. Kariadi di Semarang atau RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta.

Jadi, masyarakat diberikan pelajaran juga. Kalau gatal-gatal atau batuk-batuk sedikit, lebih baik datang ke puskesmas dulu karena ada obatnya juga.

KONTAN: Tadi Anda bilang, dana cadangan dari pemerintah sudah cair. Dana itu cair begitu saja tanpa ada persyaratan sama sekali?  

MARDIASMO: Kami akan terus melihat, bagaimana kelanjutan dari BPJS Kesehatan. Seperti yang sudah disampaikan Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam sidang kabinet dan rapat kerja, bahwa kami perlu memperhatikan pengelolaan dana dan manajemen dari Program JKN tersebut berkelanjutan. Jadi, kami tidak seperti pemadam kebakaran.

Agar Program JKN tetap berkelanjutan, pemerintah menyiapkan bauran kebijakan yang ada dalam revisi Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 12/2013 tentang JKN. Perpres itu mengamanatkan manajemen klaim di BPJS Kesehatan harus bagus.

Misalnya, dengan pembentukan masa tenggang pengajuan klaim. Artinya, rumahsakit tidak boleh mengajukan klaim yang sudah lama sebelum ada aturan klaim ini.

Amanat lain, menteri keuangan bisa memotong pajak rokok untuk menalangi defisit BPJS Kesehatan. Jangan salah tafsir, ya, artinya dana pajak rokok bisa dipotong pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) masing-masing pemerintah daerah (pemda).

KONTAN: Teknis dari pemotongan pajak rokok? MARDIASMO: Pajak rokok diterima masing-masing pemda. Nah, ketika pajak diberikan kepada pemda, maka kami bisa melihat, apakah kewajiban mereka dalam membantu Program JKN masih ada yang kurang atau bahkan belum.

Jika pemda sudah melaksanakan Program JKN dengan baik, maka pajak rokok di APBD tidak akan dipotong. Itu, kan, hak daerah yang sudah masuk APBD.

Nah, pemerintah pusat melalui Perpres JKN memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk bisa memotong pajak rokok. Tetapi dengan syarat, ada berita acara dari pemda yang bersangkutan dan dengan pihak BPJS, sehingga kami tidak menzalimi.

Peraturan Menteri Kesehatan tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat menyebutkan, sebesar 37,5% dari dana pajak rokok yang masuk ke pemda digunakan untuk pelayanan kesehatan.

Dana ini untuk pelayanan puskesmas dan sebagian untuk Program JKN. Tapi, diusahakan yang 37,5% untuk membantu Program JKN.

Nanti, kami lihat pelaksanaannya. Kalau pemanfaatan masih 30%, maka kami hanya memotong 7,5% dari pajak rokok. Kemudian, jika sudah dipakai 35%, maka kami hanya memotong 2,5%. Tetapi jika sudah 40%, tidak akan dipotong.

KONTAN: Kenapa memilih pajak rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan? MARDIASMO: Sebetulnya tidak hanya pajak rokok. Kami juga mengambil dana bagi hasil dari cukai hasil tembakau (CHT). Tapi, jika menggunakan CHT, tidak semua daerah dapat dana ini, hanya untuk daerah penghasil tembakau saja.

Untuk itu, kami meminta sistem diperbaiki. Misalnya, pemda memperbarui layanan rumahsakit sehingga punya dokter spesialis. Tenaga medis dan nonmedisnya juga yang baik.

Selain itu, infrastrukturnya juga perlu diperbaiki seperti akses jalan menuju rumahsakit. Jadi, masyarakat bisa ke ke rumahsakit dengan mudah dan tidak repot. Itu semua merupakan kewajiban pemda karena sudah tertuang di APBD.

Menteri Keuangan dan Menteri Kesehatan juga meminta kepada saya, supaya ada koordinasi dan manajemen yang lebih bagus, bagaimana mengatasi masalah di JKN.

Karena balik lagi, JKN adalah program nasional dan masuk dalam universal health coverage. Pesan asuransi sosial ini harus ditangkap oleh masyarakat, yakni kalau sakit ingin dikaver, maka harus bayar iuran.

Saat ini, pemerintah memberikan bantuan iuran untuk masyarakat miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI) sekitar 36% dari total iuran BPJS Kesehatan. Dana ini sudah dibayarkan semua untuk menutup cashflow BPJS.

Pertanyaannya, kenapa PBI di pemda masih banyak yang merah. Artinya merah adalah pemanfaatannya lebih besar dari iuran. Dan, pasien-pasien yang terdaftar di pemda banyak yang berisiko tinggi atau katastropik seperti jantung. Jadi, antara premi dengan sakitnya ada perbedaan yang jauh.

KONTAN: Ada usulan, pemerintah menaikkan premi PBI. Tanggapan Anda?

MARDIASMO:Kalau masih cukup, itu tidak perlu. Dalam perhitungan Kementerian Keuangan dari data BPJS Kesehatan yang sudah diaudit, mulai 2014 hingga 2017, itu biru.

Artinya biru adalah iuran PBI dengan biaya manfaat masih lebih besar iurannya. Karena itu, untuk sementara kami tidak akan menaikkan iuran PBI.

Kami menyoroti pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang masuk dalam peserta mandiri. PBPU tidak masuk dalam kategori PBI. Kalau swasta termasuk pekerja penerima upah.

Sedangkan PBPU adalah masyarakat yang bekerja tidak punya pemberi upah. Misalnya, pekerja bebas yang punya kantor akuntan, pengacara termasuk artis.

Nah, mereka tidak disiplin dalam membayar iuran. Ketika mereka sakit, kelompok ini baru membayar iuran. Kemudian, kelompok ini tidak lagi membayar iuran ketika sudah tidak sakit.

Secara nasional, kelompok ini ada 54% yang menyebabkan ketimpangan. Nominalnya cukup besar.

Tentu, kelompok tersebut perlu ditagih iurannya. Dalam asuransi, kan, no premi, no claim. Kalau tidak membayar iuran, tidak bisa melakukan klaim. Artinya, kalau tidak bayar iuran BPJS, ketika sakit tidak akan ditanggung.

Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan meminta BPJS Kesehatan untuk meningkatkan kolektibilitas, agar mereka yang tidak disiplin membayar bisa ditagih. Jangan sampai ada pasien membayar iuran, kemudian setelah melakukan operasi ginjal tidak membayar iuran lagi.

KONTAN: Cara lain agar defisit tidak terulang? MARDIASMO: Hasil audit BPKP menyebutkan, memang benar ada defisit atau gagal bayar yang terjadi di BPJS Kesehatan. Presiden memerintahkan untuk segera menyelesaikan masalah yang terjadi BPJS Kesehatan.

Soalnya, rumahsakit sudah kesulitan likuiditas dan rumahsakit juga ditagih perusahaan obat karena menanggung utang obat. Tidak hanya itu, juga ada kendala dalam pembayaran jasa dokter. Kami khawatir akan mengganggu pelayanan kesehatan jika masalah ini tidak diselesaikan secepatnya.

Kami fokus pada tiga hal. Pertama, bulan pelayanan.

Kedua, bulan pembebanan, Klaim yang diajukan ke BPJS Kesehatan dibebankan ke bulan depan untuk kemudian diverifikasi.

Ketiga, bulan pembayaran. Misalnya, ada pasien yang sakit pada bulan September, maka akan ditagihkan ke BPJS Kesehatan di bulan Oktober, dan bulan November akan dibayar sesuai hasil verifikasi.

Kami akan terus memantau BPJS Kesehatan setelah mendapatkan dana dari pemerintah. Jangan hanya menutup defisit terus selesai, setelah itu datang defisit lagi di kemudian hari.

Kami tidak ingin memberikan ruangan defisit kembali terjadi di BPJS, sehingga pemerintah mendorong adanya perbaikan-perbaikan pada sistem.

Tidak hanya BPJS Kesehatan, kami juga akan melihat perkembangan pemda dan puskesmas dalam pemanfaatan dana untuk program kesehatan, serta rumahsakit dan tenaga dokter dalam memanfaatkan program nasional ini seperti proses rujukannya. Jadi, ini harus dilihat secara menyeluruh.

Kami ingin BPJS Kesehatan long live karena kesehatan merupakan hal utama untuk membangun sumber daya manusia (SDM) pendidikan, dan perekonomian. JKN merupakan program nasional yang didorong oleh pemerintah untuk masyarakat banyak baik peserta PBI maupun yang bukan PBI.      

◆ Biodata

Riwayat pendidikan: ■ Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ■ Master of Business Administration (MBA) dari Universitas Bridgeport, Connecticut, Amerika Serikat ■ Doktor dari School of Public Policy University of Birmingham, Inggris

Riwayat pekerjaan: ■ Wakil Menteri Keuangan ■ Wakil Ketua Tim Evaluasi dan Pengawasan Percepatan Anggaran ■ Ketua Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi Nasional ■ Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan ■ Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)   ■ Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan ■ Wakil Ketua Tim Pembahas Rancangan Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)    ■ Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara.                      

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik Dialog Tabloid KONTAN  17 September - 23 September 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Kami Tak Beri Ruang Defisit Terjadi di BPJS"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga