Maret, SUN benchmark jadi primadona



JAKARTA. Surat Utang Negara (SUN) seri acuan alias benchmark kembali jadi primadona. Tercatat jenis ini menjadi obligasi negara yang paling aktif diperdagangkan sepanjang bulan Maret 2016.

Mengacu data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), pada bulan Maret lalu, volume perdagangan SUN mencapai Rp 319,36 triliun. Angka itu membesar 22,46% dari posisi bulan Februari 2016 yang tercatat Rp 260,78 triliun.

Namun di sisi lain, total frekuensi perdagangan malah mengalami penyusutan sekitar 14,84%. Dari posisi semula 19.168 kali menjadi 16.323 kali periode sama.


Dari jumlah tersebut, SUN benchmark bertenor 11 tahun yakni FR0056 mencatatkan nilai perdagangan terbesar yang mencapai Rp 53,87 triliun dalam 1.624 kali transaksi.

Sementara SUN benchmark dengan tenor 21 tahun merupakan obligasi negara yang paling aktif diperdagangkan. Di bulan Maret lalu, seri mencetak 2.300 kali transaksi dengan total nilai Rp 29,95 triliun.

Fixed Income Analyst PT BNI Securities Ariawan menuturkan, wajar apabila SUN seri acuan masuk dalam daftar obligasi negara teraktif. Sebab, pemerintah kerap menerbitkan jenis SUN benchmark tiap kali lelang.

Walhasil, outstandingnya pun membumbung di pasar. Investor juga cenderung menggemari SUN benchmark yang memiliki likuiditas tinggi. Sebab, pelaku pasar yang berskema trading dapat membeli maupun menjual SUN seri acuan dengan mudah. Ini memang jadi keunggulan seri SUN acuan.

“Mereka gampang mencari pembeli atau penjual yang mau. Kalau likuiditasnya rendah, investor susah cari pembeli atau penjualnya,” jelas Ariawan.

SUN benchmark yang laku di pasar biasanya bertempo panjang atau lebih dari 10 tahun.

Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra berpendapat, SUN bertenor panjang berpotensi mendulang kenaikan harga lebih tinggi ketimbang obligasi negara yang memiliki jatuh tempo pendek dikala pasar obligasi sedang dalam posisi bullish.

Seperti diketahui, sejak awal tahun 2016, pasar SUN domestik memperoleh beberapa katalis positif. Pertama, adalah pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI) sebanyak tiga kali yang mencapai 75 bps. Alhasil, BI Rate kini ada di posisi 6,75%.

Kedua, stabilisasi nilai tukar rupiah. Tak seperti di penghujung tahun 2015, kini nilai tukar Garuda lebih terjaga di level Rp 13.000-an. Ketiga, terjaganya tingkat inflasi Tanah Air.

Terakhir, keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserve (The Fed) untuk mempertahankan suku bunga di level 0,25% - 0,5%. Peluang SR-008 Selain SUN seri lawas, Made memprediksi, di waktu mendatang, Sukuk Negara Ritel seri SR-008 juga berpeluang menjadi SUN yang paling ramai ditransaksikan, baik dari aspek volume maupun frekuensi.

Selain merupakan barang baru di pasar, yield SR-008 ternyata menarik investor di pasar sekunder. Mengacu Bloomberg pada Jumat (15/4) pukul 16.09 WIB, harga SR-008 sudah berada di atas par yakni 102,01 dengan yield 7,52%.

“SR-008 bakal paling aktif selama beberapa pekan karena ada peralihan kepemilikan dari investor ritel ke institusi,” papar Made.

Jika euforia SUN teranyar sudah mereda, lanjut Made, lambat laun posisi SR-008 akan bergeser dari daftar obligasi negara teraktif. Ariawan sepakat, SR-008 bakal menjadi primadona di pasar sekunder pada waktu mendatang.

Sebab, sebagian investor ritel akan merealisasikan kenaikan harga (capital gain) yang diperoleh. Sementara investor institusi semisal perbankan, dana pensiun, asuransi, hingga manajer investasi akan saling berebut untuk memburu instrumen tersebut.

“Yieldnya menarik. SR-008 bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan portofolio investasi,” pungkasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada 10 Maret 2016, pemerintah meluncurkan SR-008. Nilai seri ini mencapai Rp 31,5 triliun dengan kupon mencapai 8,3%.

Obligasi yang memiliki tenor tiga tahun ini juga disertai dengan masa holding period selama satu bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie