KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Margin bunga bersih atau
Net Interest Margin (NIM) Perbankan Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan bank-bank di negara lain di kawasan regional. Namun, margin bunga tidak bisa dijadikan sebagai salah satu indikator bahwa perbankan dalam negeri lebih unggul. Pasalnya, di saat yang sama biaya
overhead bank di Tanah Air disebut masih lebih tinggi. Hal itu disampaikan Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja. "Kalau NIM Perbankan Indonesia benar paling tinggi. Tetapi kita harus melihat secara umum, biaya
overhead bank di Indonesia tinggi, kita
high cost economy," ujarnya dalam webinar bertajuk Merdeka FInancial dengan Investasi baru-baru ini.
Ia menjelaskan, bank-bank di banyak negara tidak lagi memerlukan satpam. Sementara bank di dalam negeri, termasuk BCA, setiap cabang minimal punya dua petugas
security. Ini merupakan salah satu elemen yang membuat biaya
overhead bank Indonesia lebih tinggi.
Baca Juga: BCA Catat Transaksi Nasabah Berinvestasi Lewat WELMA Capai Rp 50 Triliun Selain itu, penggunaan uang tunai di Indonesia masih sangat tinggi. BCA sebagai bank dengan rasio dana murah (tabungan dan giro) yang cukup tinggi tentu harus menyediakan uang tunai yang banyak. Jahja bilang biaya untuk menangani keamanan uang tunai tersebut sangat besar. Ada biaya logistik dan keamanan yang harus dialokasikan untuk mengawal uang tunai tersebut. Untuk mendukung layanan uang tunai, perbankan tentu harus menyiapkan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Ia mengatakan, perbankan harus menjaga tingkat layanan di ATM. "
Servise level ATM kami jaga di bawah 2%
failure-nya. Itu ada 22 macam
cost ATM itu," kata Jahja. Dalam kesempatan yang sama, Vera Eve Lim Direktur Keuangan BCA menambahkan, biaya
overhead perbankan Indonesia tinggi karena secara geografis wilayahnya jauh lebih luas sehingga harus memiliki banyak kantor cabang. Biaya opex terhadap aset menjadi lebih tinggi. Selain dari sisi biaya
overhead, Vera mengatakan faktor biaya kredit juga harus diperhatikan. Menurutnya, biaya kredit di Indonesia saat ini juga tercatat paling tinggi.
Baca Juga: BCA Catatkan Pertumbuhan Positif dari Bisnis Remitansi Oleh karena itu, kata dia, untuk menilai tingkat margin perbankan di suatu negara harus juga memperhatikan
risk adjusted NIM atau NIM yang telah memperhitungkan terlebih dahulu risiko yang terdapat pada aset penghasil bunga itu. Di bank negara mana pun, penetapan bunga kredit selalu berbasis resiko atau
pricing based riks. Ia melihat resiko dalam memberikan kredit di Indonesia masih paling tinggi. Vera mengatakan rata-rata
risk adjusted NIM industri perbankan Indonesia saat ini ada di level 3%. Sementara BCA sedikit lebih tinggi yakni 3,8% karena kualitas asetnya bagus. NIM BCA per Juni ada di level 5% dan
cost of credit (CoC) mencapai 1,2%.
Baca Juga: BNI Sebut Pertumbuhan Aset pada Semester I Jadi Modal Meminimalisir Risiko Ke Depan "Jadi kalau dibanding negara seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia,
risk ajusted NIM tidak terlalu berbeda dengan Indonesia," ujarnya. Menurutnya, keunggulan perbankan Indonesia sebetulnya bukan dari NIM. Tetapi potensi pertumbuhannya yang masih sangat bagus dan kemampuan perbankan menciptakan pendapatan masih lebih luas dibandingkan negara lain. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli