Margin emiten saham konstruksi tergerus



JAKARTA. Kenaikan harga material mulai menekan kinerja emiten sektor konstruksi. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum, harga bahan baku utama konstruksi sudah naik sekitar 17,5% akibat rupiah yang loyo.

PT Waskita Karya Tbk (WSKT), semisal, memperkirakan, margin laba kotor akan tergerus sekitar 0,5%-1% akibat kenaikan bahan baku. "Pasti akan ada koreksi akibat kenaikan harga bahan baku ini," kata Direktur Keuangan WSKT, Tunggul Rajagukguk kepada KONTAN, kemarin.

Padahal, WSKT telah merevisi target pendapatan di tahun ini. WSKT kini menargetkan pendapatan sebesar Rp 10,7 triliun, dari target awal Rp 11,8 triliun. Target diubah karena proyek WSKT bakal molor. Meski begitu, Waskita berharap tetap menjaga target perolehan laba bersih sebesar Rp 363 miliar di tahun ini.


Nah, agar kenaikan harga bahan baku tak terlalu menekan margin, WSKT sudah menyiapkan siasat. Tunggul bilang,  WSKT sedang mengkaji kenaikan harga kontrak baru. Hanya saja, dia enggan bicara lebih jauh soal ini karena sedang dalam tahap finalisasi perhitungan.

Sementara, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) malah telah menaikkan biaya kontrak pembangunan sekitar 10% sejak bulan lalu. Dus, Sekretaris Perusahaan WIKA, Natal Argawan yakin, target kinerja WIKA bisa terpenuhi hingga akhir tahun ini. Dia memprediksi, pendapatan WIKA bisa mencapai Rp 12 triliun, naik 22% dari realisasi akhir tahun lalu. Sementara, laba bersih bisa naik 16% menjadi Rp 535 miliar year-on-year (yoy).

Analis Ciptadana Securities, Kris Jonan memperkirakan, margin emiten sektor konstruksi bisa tergerus 1%-2% akibat kenaikan harga bahan baku. Wajar bila emiten sektor ini menaikkan harga untuk kontrak barunya.

Reza Nugraha, analis MNC Securities menimpali, menaikkan tarif pengerjaan proyek adalah jalan paling baik untuk menjaga margin laba emiten. Sebab jika tidak, margin emiten konstruksi bisa tergerus 0,5%-1%. Padahal, margin emiten konstruksi sudah sangat kecil yaitu sekitar 3%-7%.

Bisa naikkan tarif

Analis Samuel Sekuritas, Adrianus Bias Prasuryo menambahkan, idealnya emiten bisa menaikkan harga alias tarif pengerjaan proyek maksimal sekitar 10%. Sebab, hitungan dia, kenaikan harga bahan baku terhadap total biaya proyek hanya 40%-50%.

Adrianus bilang, kenaikan tarif akan mudah dilakukan oleh emiten badan usaha milik negara (BUMN) yang menggenggam kontrak proyek pemerintah. Pasalnya, ada klausul cost escalation jika ada kenaikan bahan baku. "Mereka (emiten BUMN) dapat mengubah kontrak dan menaikkan harga sekitar 5%-10%," jelas dia.

Sedangkan, emiten konstruksi milik swasta yang tak mendapat fasilitas tersebut perlu berpikir keras untuk menggenjot kinerja. Adrianus memperkirakan, PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL), PT Acset Indonusa Tbk (ACST), maupun PT Nusa raya Cipta Tbk (NRCA), paling terpukul dengan kenaikan harga bahan baku ini, sehingga profitabilitas emiten tersebut akan menurun.

Menurut hitungan Kris, beban pokok emiten konstruksi swasta akan naik 5%-6%. Cara menyiasatinya, para emiten swasta ini perlu melakukan negosiasi harga dengan pemilik proyek.

Lantaran margin terancam turun, Adrianus menyarankan hold untuk semua saham emiten konstruksi. Tapi, Kris masih merekomendasikan saham WIKA, karena emiten ini memiliki diversifikasi bisnis yang luas dan tidak bertumpu pada satu bidang bisnis saja.

Sedangkan, Reza merekomendasikan beli beli saham ADHI dengan target harga Rp 2.100, WSKT  dengan target Rp 720 dan saham PTPP dengan target harga Rp 1.300 per saham.              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana