Margin kian besar di bisnis beton



JAKARTA. Emiten konstruksi makin serius diversifikasi bisnis demi mengincar margin laba yang lebih besar. Salah satu lini bisnis yang menjanjikan adalah bisnis beton. Beberapa emiten konstruksi terutama emiten pelat merah giat menggarap bisnis ini.

Badan Umum Milik Negara (BUMN) yang sudah mempunyai lini bisnis beton, antara lain PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), dan PT PP Tbk (PTPP), dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT).

Analis Buana Capital Dian Octiana mengatakan, WIKA tercatat sebagai emiten konstruksi yang memiliki bisnis paling beragam. WIKA mengendalikan bisnis beton melalui anak usahanya, PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON). WTON memberi kontribusi yang signifikan ke WIKA, mencapai 35%-40% terhadap laba bersih WIKA.


Emiten BUMN lain pun mulai mengikuti jejak WIKA berbisnis beton. Namun, kontribusi bisnis beton ADHI, PTPP, dan WSKT masih kecil, yakni masih di bawah 5%. Meski demikian, emiten-emiten ini kian ekspansif mengembangkan bisnis beton dengan membuat pabrik baru atau akuisisi.

WSKT, misalnya, berhasrat memperbesar lini beton pracetak dengan menambah pabrik. WSKT mengalokasikan Rp 60 miliar. Dana tersebut  hampir separuh dari total belanja modal tahun ini. "Persaingan makin ketat, namun pangsa pasar konstruksi masih sangat besar sehingga bisnis ini sangat prospektif untuk jangka panjang," ujar Dian.

Menurut dia, diversifikasi bisnis beton membuat pertumbuhan kinerja emiten konstruksi makin apik. Maklum saja, menurut analis Danareksa Sekuritas Joko Sogie, margin bisnis beton lebih tinggi dibandingkan margin bisnis konstruksi. Rata-rata bisnis beton memiliki margin laba 12%-15%. Sementara, margin laba bisnis konstruksi berkisar 8%-10%.

Joko bilang, prospek kinerja emiten BUMN yang memiliki bisnis beton juga akan cukup menarik lantaran, secara industri, pertumbuhan bisnis konstruksi masih bisa mencapai 20%. "Ada tambahan nilai bagi emiten yang memiliki bisnis ini," ujar dia.

Menopang kinerja

Namun, Joko menilai, emiten konstruksi mendapat tantangan besar dengan adanya perlambatan ekonomi dan defisit fiskal.  Faktor ini bisa menghambat pengeluaran infrastruktur. "Juga adanya kenaikan suku bunga yang signifikan," tambah dia.

Arief Budiman, analis Ciptadana Securities, mengatakan, di semester I tahun ini, kinerja beberapa emiten konstruksi masih stagnan. Apalagi, nilai kontrak baru di semester I masih kecil. Ambil contoh, kontrak baru WIKA, PTPP, dan ADHI secara rata-rata turun hingga 19% year on year (yoy).

Namun, Arief yakin, di masa pemerintahan baru, infrastruktur akan terus digenjot dan mendorong masuknya investasi asing. Dus, nilai tukar rupiah bisa meningkat dan ongkos produksi bisa berkurang. "Di semester II, kami yakin, realisasi proyek pemerintah bisa lebih tinggi dan meningkatkan laba," ujar dia.

Joko menilai, dalam tiga tahun ke depan, rata-rata pertumbuhan emiten konstruksi bisa mencapai 19%. Dari beberapa emiten konstruksi, PTPP dia nilai akan memiliki pertumbuhan paling tinggi, yakni mencapai 24%. Alasannya, PTPP memiliki size order book cukup besar, selain kontrak baru yang lebih baik dibandingkan kompetitor.

Sementara, Arief memilih PTPP, WTON, dan ADHI sebagai pilihan saham di sektor konstruksi.

Saat ini, saham sektor konstruksi diperdagangkan dengan price to earning ratio (PER) 16,8 kali dan menurut Arief PER bisa naik menjadi 22 kali. Ia memprediksi, laba sektor ini akan tumbuh 24% pada 2014-2015.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana