Marie: Tantangan utama MEA adalah pendidikan



JAKARTA. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah ada di depan mata. Rencananya di akhir  tahun 2015 MEA akan resmi dimulai. Secara bertahap, Asean sepakat untuk menghilangkan semua peraturan non tariff barrier dan mengimplementasikannya secara menyeluruh di tahun 2020.

Kelak dalam masyarakat ini, perdagangan barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja ahli akan dibebaskan. Tapi tak banyak yang bisa membayangkan seperti apa bentuk MEA itu nanti. Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian di masing-masing negara.

Berdasarkan riset yang dilakukan Economist Intelligence Unit, penggunaan fasilitas Free Trade Agreement sangat rendah. Walau sudah ada perjanjian dagang bebas antar Negara Asean, rata-rata hanya 26% eksportir yang mempergunakannya. Para eksportir itu menilai rumitnya perjanjian membuat mereka enggan memanfaatkannya (48%), tidak membuka akses pasar yang baru (35%), kurangnya pakar internal (34%), pasar tidak menarik (33%), dan beberapa alasan lainnya termasuk eksportir yang melihat manfaat yang mereka peroleh tidak sepadan dengan kesulitan yang harus dilalui.


Dalam acara South East Asia Summit di Jakarta (27/8) The Economist mencoba mempertemukan pimpinan pemerintah, bisnis, akademik, lembaga multilateral untuk mengulasnya lebih dalam.

MEA banyak menarik perhatian pelaku bisnis karena Asean adalah kawasan dengan populasi usia produktif terbesar di Asia. “Ada business opportunity yang besar,” ungkap Idris Jala Ketua Eksekutif Pemandu (Performance Management and Delivery Unit) Malaysia.

Salah satu sektor yang masuk dalam pembahasan adalah pembiayaan untuk infrastruktur. Menurut James Cameron Head of Project and Export Finance Asia-Pacific HSBC, sampai 2025 Asia membutuhkan dana US$ 15 triliun untuk pengembangan infrastruktur.

Sementara itu untuk pengembangan sumber daya manusia, pendidikan yang ada di Indonesia tergolong masih sangat memprihatinkan. Douglas Broderick United Nation Resident Coordinator menyoroti ranking Indonesia untuk critical thinking dan problem solving di antara Negara Asia yang ternyata ada di peringkat hampir buntut. Selain itu Douglas juga melihat ada ratusan lembaga yang memberikan sertifikasi di Indonesia dengan mudah, padahal mereka sebenarnya masih belum layak. “Pemerintah seharusnya maju untuk memperbaiki sistem sertifikasi ini,” tutur Douglas.

Lebih jauh tentang pendidikan, Associate Dean Melbourne Business School Ian Williamson menantang pemerintah untuk berani berpikir, investasi di dalam edukasi seperti investasi dalam infrastruktur.

Dalam closing keynote, Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Marie Pangestu mengungkapkan tantangan paling besar dari Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah edukasi publik. “Misalnya saja untuk MEA yang akan berjalan di tahun 2015. Orang-orang berpikir sesuatu yang besar akan terjadi di akhir tahun 2015. Padahal bukan seperti itu yang terjadi, MEA adalah sebuah proses,” terang Marie.

Marie juga ingin para pengusaha menengah kecil bisa meningkatkan percaya diri, bukannya ketakutan untuk berkompetisi. “Ini adalah salah satu fungsi dari edukasi,” tambah Marie.

Menurut Marie, integrasi regional ini harus dilihat sebagai upaya untuk membuat kita bisa terus berkompetisi dan inovatif. Tanpa adanya perjanjian perdagangan pun, pengusaha harus terus berusaha kompetitif. Integrasi regional ini akan memberi kerangka standard yang harus dicapai, membuat seperti apa standard Asia.  “Pada akhirnya meningkatkan kepercayaan diri UKM. Indonesia  mempunyai pasar terbesar dan sebagai pengusaha kita tentu paling mengerti pasar ini,” pungkasnya.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.