JAKARTA. Pemerintah Provinsi Aceh telah menyelesaikan qanun atau peraturan daerah (Perda) tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Perda tersebut kabarnya sudah berada di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun para pengusaha minerba dii Aceh tampaknya keberatan dengan Perda tersebut. Sebab selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor guna menggerakkan ekonomi Aceh, Perda tersebut juga bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menjelaskan salah satu pasal yang dinilai menabrak UU Minerba yakni terkait dengan penetapan dana kompensasi sumber daya alam untuk pemerintah Aceh yang besarnya antara 2,5% hingga 6,6 %. Selain itu pengusaha juga masih dibebani dana pengembangan masyarakat yang ditetapkan sedikitnya 2%.
Jika pasal-pasal dalam Perda tersebut diberlakukan, artinya pengusaha tambang di Aceh harus menyediakan dana untuk royalti dan kompensasi sebesar 12%. “Ini jelas memberatkan para pengusaha tambang,” ujar Marwan dalam keterangannya, Kamis (6/2). Untuk itu ia meminta agar Kemendagri berhati-hati dalam menyetujui Perda ini. Pasalnya, jika Perda tersebut disetujui, bisa menimbulkan polemik baru. Marwan menegaskan, seharusnya setiap aturan daerah yang berkaitan dengan mineral atau batubara harus selalu merujuk pada UU Minerba. Jangan semata untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) kemudian tidak memperhatikan undang-undang yang ada di atasnya. “Misal Papua juga memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus, namun soal minerba meski di sana ada Freeport, mereka tetap mengikuti aturan yang ada di UU Minerba,” ujarnya.