Masa Depan Industri Penerbitan



KONTAN.CO.ID - Dalam ceramah How to Stay Out of Debt; Financial Future of American Youth pada tahun 1999, yang videonya bisa ditonton di kanal Youtube, Warren Buffett ditanyai oleh seorang pemudi, "Apa cara terbaik yang dapat dilakukan oleh anak muda untuk mengamankan masa depan finansial mereka mulai dari sekarang?"

Warren Buffett pun menjawab bahwa hal penting yang harus mereka lakukan adalah mengoptimalkan talenta yang ada pada mereka. "Masa depan bagi finansial yang baik adalah kemampuan yang ada pada dirimu sendiri," tegasnya. Di awal ceramah, sebelum melaksanakan tanya jawab dengan audiens, Warren Buffett berkata bahwa kehidupan seseorang di masa depan ditentukan dari tiga hal, yaitu integritas, kecerdasan, dan energi yang ada di dirinya.

Talenta atau kemampuan –disertai dengan integritas, kecerdasan, dan energi– mestinya membuat seseorang sedapat mungkin menjauhi utang, seperti yang menjadi tema ceramahnya. Ia bahkan tidak terlalu memfokuskan pembahasannya soal investasi saham, bidang yang paling dikuasainya, tapi lebih pada soal-soal menjauhi penggunaan uang untuk hal-hal yang tidak perlu dan optimalisasi kemampuan atau talenta.


Talenta atau kemampuanlah yang menggerakkan orang-orang di sepanjang zaman untuk berpikir inovatif dan membuat pembaharuan. Dalam ceramahnya ia beberapa kali menyebutkan Bill Gates, sahabatnya yang juga pendiri Microsoft. Ia pun takjub dengan kehadiran internet. Menjelang ceramah berakhir, ia menyebutkan bahwa ia membaca surat kabar secara online, dan surat kabar online itu tersedia lebih awal daripada yang versi cetak.

Demikianlah, internet membuat akses terhadap berbagai informasi menjadi lebih mudah dan cepat. Dan internet pun mengubah banyak hal, termasuk dunia perbukuan, percetakan, dan penerbitan. Tiap tahun, penjualan buku cetak terus menurun. Harian KONTAN (30/8/2015) menyebutkan bahwa berdasarkan data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), total omzet industri penerbitan menurun 6,71% dari periode yang sama. Lalu, dua tahun berikutnya, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Rosidayati Rozalina, menyatakan bahwa secara umum pendapatan (revenue) penerbitan mulai turun maksimal 10% (Harian KONTAN, edisi 7/9/2017).

Sejak manusia mengenal aksara, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Sejarah pun ditandai dengan dua pembabakan berdasarkan pengenalan manusia akan aksara, yaitu zaman prasejarah (ada yang menyebutnya praaksara) dan sejarah. Tiap tanggal 8 September seluruh dunia memperingati sebagai Hari Aksara.

Minat baca dan hiburan

Dengan aksara, gagasan dirangkai, pemikiran disebarkan. Aksara menjadi gagasan, gagasan mengubah kehidupan ketika dituangkan dalam berbagai medium, salah satunya buku.

Menurunnya penjualan buku cetak beberapa tahun belakangan tentu disebabkan juga oleh minat baca masyarakat yang rendah. Orang lebih suka menghabiskan waktu berlama-lama memegang ponsel pintar yang menyediakan hiburan berupa beragam permainan dan tontonan daripada membaca buku. Kalaupun membaca, yang tampaknya diprioritaskan adalah berita-berita terkini, dengan tujuan agar tidak ketinggalan informasi.

Keadaan ini jauh berbeda dengan sepuluh tahun hingga dua puluh tahun lalu. Saat-saat itu, buku banyak peminatnya. Orang membaca buku bukan karena semata-mata mencari informasi, mencari rujukan, atau meluaskan wacana berpikir, tapi juga mencari hiburan.

Saat-saat itu, orang menyukai buku bukan karena mereka identik sebagai kutu buku yang suntuk, berkacamata tebal, atau berpembawaan serius. Jenis-jenis buku seperti cerita silat yang berjilid-jilid atau aneka resep kue dan masakan, saat-saat itu mendapat tempat di masyarakat.

Sudah barang tentu, kalangan pembaca buku demikian bukanlah para kutu buku yang memiliki tongkrongan "ilmuwan". Melainkan, pembacanya tak lain dan tak bukan para remaja yang membutuhkan hiburan atau ibu-ibu yang tengah belajar memasak.

Memang, pada zaman sekarang buku juga dapat menjadi sumber hiburan. Bedanya, pesaing buku sekarang banyak. Dan karena seluruh dunia membuka tangan lebar-lebar pada kemajuan teknologi informasi, nasib buku pun makin tergilas.

Tak hanya soal minat baca yang rendah, dunia perbukuan di Tanah Air menghadapi berbagai persoalan serius lainnya. Sekitar pertengahan tahun 2019, seorang kawan memberitahu saya, mendapatkan sebuah naskah novel saya secara utuh di internet, bahkan sampai sampul depan dan belakangnya.

Saya bertanya apakah naskah itu dibacanya lewat platform resmi penerbit novel itu? Ternyata tidak. Dia mendapatkannya dari sebuah situs yang mengunggah naskah tersebut secara utuh dan siapa pun bebas mengunduhnya tanpa membayar.

Bila membaca e-book lewat platform yang disediakan penerbit atau bekerjasama dengan penerbit, maka penulis tetap mendapatkan royalti. Namun, ketika buku itu bisa diunduh secara gratis, penulis pun meringis. Begitulah, pembajakan buku sekarang bukan hanya terjadi pada versi cetak, melainkan juga pembajakan melalui digital.

Padahal, royalti penulis kebanyakan, jumlahnya kecil. Sudah royaltinya kecil, bukunya masih dibajak pula--betapa miris. Hanya beberapa gelintir penulis yang karyanya dicetak ulang puluhan kali. Karya-karya penulis yang bukunya difilmkan, atau penulis buku pelajaran seperti Marthen Kanginan, jelas nasibnya jauh berbeda dengan penulis kebanyakan.

Karena itu, beberapa penulis yang saya kenal ada yang meninggalkan dunia tulis-menulis. Mereka yang tetap mau bertahan hidup lewat dunia tulis-menulis mempelajari kemampuan menyunting, menulis untuk orang lain (ghostwriting), menerjemahkan, dan sebagainya.

Kondisi perbukuan juga makin menyedihkan karena harga kertas terus naik seiring dengan menguatnya nilai tukar dollar Amerika. Kertas, karena merupakan komoditas internasional, harganya mengikuti nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Misalnya, Juli 2018, harga kertas koran naik menjadi Rp 13.200 per kilogram (kg) dari sebelumnya Rp 9.800. Sedangkan kertas HVS naik menjadi Rp 17.200 per kg dari sebelumnya Rp 12.800 per kg (Harian KONTAN, 15 Juli 2018).

Kenaikan harga kertas tentunya berimbas pada kenaikan harga buku. Buku dengan ketebalan yang sama harganya bisa jauh berbeda antara yang terbit belakangan dengan yang terbit lima atau enam tahun lalu.

Begitulah, minat baca masyarakat yang rendah, tersedianya berbagai alternatif hiburan dan kemudahan akses terhadap informasi akibat kecanggihan teknologi informasi, serta mudahnya mendapatkan e-book bajakan yang notabene gratis, membuat buku cetak makin tersisih. Kita kini tidak pernah tahu sampai kapan industri penerbitan buku cetak tetap bertahan, walaupun beberapa gejala sudah menunjukkan senjakala.

Penulis : Sidik Nugroho

Esais dan Novelis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti