KONTAN.CO.ID - BALI. Puluhan kapal nelayan dengan berkelir warna-warni bersandar di hamparan pasir putih. Bau asin menusuk hidung ditengah cuaca yang mulai terik. Tampak dua pria paruh baya menggotong boks warna putih berisi ikan cumi segar berukuran sedang. Itulah sepintas aktivitas nelayan saat KONTAN mengunjungi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kedonganan, yang terletak tak jauh dari Pantai Jimbaran, Bali, Minggu (2/12) lalu. Pantai Kedongan secara geografis termasuk ke dalam wilayah Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Di sekitar pantai berjejer resto-resto
seafood yang selalu ramai disambangi para wisatawan local maupun mancanegara. Sudah menjadi pemandangan biasa saban hari, bule-bule pun berburu ikan segar di pasar ikan yang tak jauh dari tepi pantai. Pasar ikan ini dikelola oleh Desa Adat Kedonganan. Praktis, kawasan ini menjadi pusat perekonomian desa dan menyokong pasokan ikan untuk kafe, restoran dan hotel, hingga warung-warung pemanggangan. Boleh dibilang, Kedonganan merupakan desa nelayan yang masih eksis di tengah pusaran industri pariwisata Bali. Saat musim panen sekitar Juli-Agustus, PPI Kedonganan bisa menerima 70 ton ikan per hari, yang kebanyakan ikan layang, lemuru, cakalang, tongkol kecil, dan sebagainya. Tapi tidak semua ikan yang diperjualbelikan di Pasar Kedonganan merupakan hasil tangkapan nelayan lokal. Sebagian pasokan ikan harus didatangkan dari Jawa karena tingginya permintaan. Ketika hasil tangkapan nelayan setempat berkurang, harga ikan merangkak naik karena praktis mengandalkan pasokan dari luar Bali. Maklum industri kuliner di Bali tumbuh pesat seiring berkembangnya bisnis pariwisata. Apalagi memasuki musim paceklik, saat angin barat berhembus kencang, “Nelayan banyak yang tak melaut, memilih tinggal di rumah atau pulang kampung,” kata Khusairi, nelayan asal Madura saat berbincang dengan KONTAN.
Sejatinya nelayan di Pantai Kedonganan rata-rata berasal dari luar Bali seperti Madura, Jember, Banyuwangi, dan lainnya. Sebab sudah tidak banyak lagi nelayan asli Bali yang mau melaut. Mereka yang masih bertahan lebih memilih menyewakan kapalnya atau membuka warung ikan bakar. Soal pendapatan, Khusairi bilang, jumlahnya tidak menentu tergantung hasil tangkapan. “Kalau lagi musim panen, ya banyak. Lagi paceklik, susah, banyak utang. Jadi harus pintar pintar nabung,” akunya tanpa menyebut nominal pendapatan. Sekadar gambaran, Khusaeri menyebutkan, penghasian berdasarkan bagi hasil. Misalnya, hasil tangkapan senilai Rp 75 juta. Jumlah itu akan dipotong dulu untuk biaya bahan bakar dan logistik selama melaut, dikurangi bagian untuk pemilik kapal, dan persentase atau jatah nakhoda. Nah, sisanya dibagi untuk anak buah kapal (ABK) dengan porsi yang berbeda-beda sesuai tugasnya. Rata-rata dalam satu kapal terdapat sekitar 25-35 ABK. Tak hanya nelayan, puluhan kuli borongan bongkar muat juga menggantungkan hidup di PPI Kedonganan. Salah satunya adalah Pika, asal Jember. “Awalnya saya bertani, tapi sering gagal panen. Akhirnya kerja disini, ada yang ngajak,” tuturnya. Ia mengaku pendapatannya juga tak pasti. “Kalau bongkarannya lagi banyak bisa dapat 300 ribu. Kalau lagi sepi, paling 50 ribu, kadang enggak dapat sama sekali,” keluh bapak dua anak ini yang baru setahun mukim di Bali. Setali tiga uang, nasib nelayan di Muara Angke, Jakarta. Pantauan KONTAN, sejumlah kapal nelayan tengah membongkar muatannya. Satu per satu ikan yang sudah dibekukan itu dikeluarkan dari lambung kapal, ditimbang lalu dicatat dengan cermat di hadapan petugas pengawas dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Ade, nelayan dari Labuan Banten, menuturkan, kehidupan nelayan cukup keras sehingga harus piawai menghemat pengeluaran. Jika tidak, setoran buat anak istri di kampung seret. ABK Kapal Motor Sukma Wijaya itu berujar, menjalani pekerjaan sebagai nelayan sudah turun-temurun, lagian tidak memiliki keahlian lain. “Kalau di laut mah apa saja bisa, asal ada kemauan juga engak perlu ijazah,” ucap pria yang hanya lulus sekolah dasar ini kepada KONTAN, Selasa (11/12). Ade sempat menyoal program sosial untuk nelayan yang kerap tidak tetap sasaran, dari mulai bantuan tunai langsung, kartu kesehatan, hingga permodalan. “Yang dapat itu-itu aja. Pendataannya harus benar, bantuan permodalan yang menikmati hanya pemilik kapal, ketua kelompok. Kalau ABK, ya begini nasibnya,” ‘ujar dia. Sutarjo, Nakhoda Kapal Motor (KM) Warga Jaya yang baru usai bongkar muat di TPI Muara Angke berharap, pemerintah terus memperhatikan kondisi nelayan tradisional dengan semakin banyaknya kapal kapal ikan tangkap skala besar. Pasalnya, berdampak pada hasil tangkapan karena bermodal peralatan sederhana. Namun saat ini yang cukup memberatkan nelayan adalah biaya BBM. “Kami sulit mendapatkan bahan bakar solar subsidi. Ada di agen tapi harganya mahal. Kalau BBM tak ada, sama artinya engak bisa melaut dan tak ada pendapatan,” ungkap warga Karawang yang memiliki 30 ABK. Meski demikian, Sutarjo mengapresiasi bantuan sejumlah alat tangkap seperti jaring dari pemerintah karena cukup membantu mereka. Selama ini, KM Warga Jaya yang berbobot 14 gross tonnage (GT) ini menggunakan jaring apung. Setiap dua tahun sekali, jarring harus diganti. Kapal beroperasi ketika bulan gelap karena menggunakan lampu pancing untuk memikat ikan. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar menyebutkan, pengadaan bantuan kapal tahun ini sebanyak 565 unit senilai Rp 42 miliar. “Sebanyak 504 kapal telah selesai dibangun, sisanya masih tahap finalisasi. “Untuk tahun depan, KKP hanya menyalurkan 300 unit bantuan kapal dengan bobot di bawah 5 GT,” katanya kepada KONTAN, Senin (10/12). Ke depan, Zulficar bilang, pihaknya akan lebih mendorong manajemen tata kelolanya yang baik agar nilai manfaatnya lebih besar. Selain bantuan kapal, pemerintah juga mendistribusikan sekitar 9.700 unit alat tangkap secara gratis bagi nelayan dengan bobot kapal kurang dari 10 GT. Selama ini, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti cantrang terkonsentrasi di beberapa tempat seperti Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura), Kalimantan Barat,dan Sumatra Utara. Mengenai larangan cantrang ini, Zulficar menengaskan, tidak ada pelonggaran atau relaksasi. KKP mengimbau pelaku perikanan tangkap sudah beralih sepenuhnya menggunakan alat tangkap ramah lingkungan pada tahun depan. Agar transisi alat tangkap ini berjalan mulus, KKP mengambil beberapa langkah pendekatan, yakni penggantian alat tangkap gratis bagi nelayan dengan kapal berbobot kurang dari 10 GT, mendorong akses pemodalan lewat perbankan mitra untuk pelaku perikanan tangkap dengan bobot kapal 10 GT-30 GT, dan mengharuskan penggantian alat angkap bagi kapal dengan bobot lebih dari 30 GT. Adapun perjuangan berat juga dihadapi nelayan di Kepulauan Bangka Belitung. Mereka harus bertarung dengan kapal-kapal hisap yang menambang pasir timah di zona tangkapan mereka. Akibat kerusakan laut, tangkapan ikan menjadi merosot. Zulpriadi, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) mengungkapkan, pihaknya tengah mengadvokasi konflik nelayan dengan perusahaan perusahaan pertambangan yang mengoperasikan kapal-kapal hisap. Saat ini, izin pertambangan di wilayah pesisir Babel sudah penuh. Setidaknya, 56 unit kapal hisap beroperasi di kawasan tersebut. “Aktivitas pertambangan di laut merupakan ancaman nyata bagi ekologi, secara langsung menghancurkan ekosistem laut, merampas ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat pesisr dan nelayan,” tukasnya kepada KONTAN, Jumat (14/12).
Sikap Walhi, kata Zulpriadi jelas menolak aktivitas tambang laut. Walhi juga menyangkan Penyusunan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung lebih banyak mengakomodasi kepentingan industri tambang laut ketimbang perindungan nelayan dan masyarakat pesisir. Pasalnya, dalam draf Perda tersebut masih mencantumkan zonasi pertambangan laut di Kabupaten Bangka Barat; Kota Pangkalpinang; Kabupaten Bangka; Kabupaten Bangka Tengah; Kabupaten Bangka Selatan. Semestinya, kawasan ini zero pertambangan laut. Untuk itu, Walhi bersama terus mengawal pembuatan Perda zonasi pesisir dan pulau pulau kecil ini. “Perda Zonasi ini harus mengakomodasi masyarakat pesisir dan nelayan tradisonal bukan berpihak kepada korporasi yang melakukan penambangan laut dan merusak lingkungan,” tukasnya. Zulpriadi mengingatkan, semangat perda zonasi harus memberikan perlindungan masyarakat lokal dan nelayan pesisir sesuai dengan UU No. 1/ 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Dalam regulasi tersebut jelas bahwa masyarakat pesisir dan nelayan mempunyai prioritas utama dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir dan ruang laut untuk pemenuhan kebutuhan sehari hari dan keberlangsungan hidup mereka. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dadan M. Ramdan