JAKARTA. Perekonomian Indonesia saat ini tengah mendapat cobaan. Lihat saja, dibanding tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan perekonomian Indonesia semakin melambat. Bahkan, sejumlah analis menilai, perekonomian Indonesia bakalan sulit menembus level 6% seperti tahun lalu. Dapat dikatakan, masa keemasan ekonomi Indonesia sulit untuk kembali dijangkau pada tahun ini. Berdasarkan hasil riset KONTAN, tren perlambatan ekonomi Indonesia pada tahun ini sangat jelas terlihat. Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2014 hanya bertumbuh 5,21% secara tahunan (year on year). Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama dan dua 2012 yang berhasil menembus 6,33%. Kemudian turun tipis ke level 6,29% dan 6,26% pada triwulan tiga dan empat. Lalu pada tahun 2013 kian melambat dari 6,03% pada periode pertama menuju 5,78% pada periode terakhir.
Meski di bawah target, Wakil Menteri PPN/Bappenas Lukita Dinarsyah menyebut menilai kondisi perekonomian Indonesia tergolong baik secara global. "Indonesia dianggap 10 besar ekonomi baik menurut Bank Dunia. Kita harus bangga," ungkapnya di Jakarta, Senin (5/5). Pemerintah kini menghadapi tantangan untuk terus bekerja meningkatkan pertumbuhan agar mencapai angka 5,7% hingga 5,8%. Lukita menilai masih ada sisa waktu tiga kuartal bagi Indonesia untuk terus mengupayakan pertumbuhan. Salah satu faktor krusial ada pemilihan presiden yang berlangsung Juli mendatang. Hajatan politik tersebut digadang akan menjadi pendongkrak investasi. "Investasi belum sesuai harapan, semoga bisa lebih tinggi lagi," tambahnya. Gara-gara ekspor yang melambat Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,21% ini lebih rendah dari perkiraan pemerintah sendiri yang memprediksi pertumbuhan triwulan satu bisa mencapai 5,7%-5,8%. Diakuinya perlambatan pertumbuhan memang bagian dari strategi pemerintah untuk mengatasi current account deficit atawa defisit transaksi berjalan menuju ke level yang lebih sehat. "Namun pertumbuhan diharapkan di atas 5,5% karena kita juga tidak ingin terlalu rendah," ujarnya, Senin (5/5). Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini menjelaskan perlambatan ekonomi terjadi sebagai akibat kontraksi pada ekspor yang turun cukup dalam. Sedang untuk investasi sendiri pertumbuhan pengeluarannya masih mencapai 5,13%. Ekspor yang melamban ini memang telah tercermin dari data ekspor Januari-Maret. BPS mencatat, ekspor Januari-Maret 2014 sebesar US$ 44,32 miliar atau turun 2,42% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Menurut Chatib, dengan adanya perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Jepang diharapkan dapat membuat kinerja ekspor Indonesia kembali membaik. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan bisa lebih baik lagi tahun ini. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, melihat kinerja ekspor tahun ini memang sulit. Secara global permintaan produk dari Indonesia lemah terutama China. Apalagi ekspor Indonesia banyak terkait dengan sumber daya alam yang berhubungan dengan rendahnya harga komoditas. Satu hal yang masih bisa menjadi pendorong pertumbuhan tahun ini yaitu investasi. Sebelumnya pada tahun ini laju investasi berada pada kisaran 4% dan pada triwulan I 2014 meningkat menjadi 5,13%. "Apalagi ada kejelasan aturan Daftar Negatif Investasi (DNI)," tutur David kepada KONTAN di Jakart, Senin (5/5). Adapun untuk tahun ini, dirinya memperkirakan pertumbuhan akan berada pada kisaran 5,5%. Sulit mencapai level 6% lagi Di sisi lain, Ekonom DBS Gundy Cahyadi berpendapat, dengan melihat pertumbuhan triwulan satu kecil kemungkinan pemerintah bisa mencapai target pertumbuhan 6% sesuai APBN. Dirinya melihat pertumbuhan masih akan berada dalam kisaran perkiraan Bank Indonesia yaitu 5,5%-5,9%. Ada dua penyebabnya. Pertama, ekonomi domestik masih kuat dengan konsumsi rumah tangga yang tinggi. Kedua, pertumbuhan investasi yang secara berkelanjutan mengalami pemulihan. Sejumlah ekonom asing juga memiliki pendapat yang sama. Mereka menilai, perekonomian Indonesia masih akan mengalami tekanan pada tahun ini. Meski demikian, perekonomian Indonesia berpotensi besar untuk rebound pada kuartal akhir. Jika dilihat, ekonomi Indonesia memang mendapat pukulan berupa kebijakan pemangkasan nilai stimulus the Federal Reseve (tapering) yang dimulai pada akhir tahun lalu. Sejak isu kebijakan tersebut mulai bergulir, terjadi eksodus dana asing besar-besaran dari emerging market. Tak terkecuali Indonesia. Bahkan Indonesia termasuk dalam kategori "
fragile five", yakni lima negara yang terimbas paling parah kebijakan tapering. "Kami melihat ada sedikit harapan untuk bangkit," kata Daniel Martin,
Asia economist Capital Economics kepada CNBC. Meski demikian, lanjut Martin, ada beberapa faktor yang dapat menghambat Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan 6%. "Padahal, target ini beberapa waktu lalu sangat mudah untuk dicapai," imbuhnya. Apa saja? Pertama, pengetatan kebijakan moneter. Hal ini dapat dilihat dari langkah Bank Indonesia (BI) yang menaikkan tingkat suku bunga acuan sebanyak lima kali sejak pertengahan 2013 lalu. Kebijakan ini diambil bank sentral untuk menahan laju pelemahan mata uang rupiah. Sekadar mengingatkan, di sepanjang 2013 lalu, rupiah sudah keok hingga 26% terhadap dollar AS. Faktor kedua adalah ketidakpastian terkait pemilihan umum yang berlangsung tahun ini. Seperti yang diketahui, Indonesia saat ini tengah bersiap menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan berlangsung pada 9 Juli mendatang. Menurut Martin, Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, digadang-gadang sebagai calon presiden yang paling disukai. Namun, jika Jokowi tidak mendapat suara yang cukup, dia harus membentuk koalisi dengan partai lain. "Nah, hal ini dapat membatasi upayanya untuk melakukan reformasi," jelas Jokowi. Sedangkan faktor ketiga yakni pelarangan ekspor mineral mentah atau ore. Pengaruh pelarangan ekspor mineral mentah cukup signifikan karena mempunyai dampak berikutnya pada sektor industri yang berlipat. "Faktor-faktor tadi terbukti menjadi batu sandungan bagi ekonomi Indonesia, di mana terjadi penurunan tingkat investasi sehingga ekonomi melambat," kata Martin. Catatan saja, tingkat investasi di Indonesia pada kuartal pertama tahun ini hanya tumbuh 14,6%. Angka ini lebih rendah dari tingkat investasi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai pertumbuhan sebesar 27%. Sementara itu, Wai Ho Leong,
senior regional economist Barclays menilai, perlambatan ekonomi Indonesia yang terjadi pada kuartal I lalu hanya bersifat sementara. "Saya sama sekali tidak mencemaskan mengenai outlook ekonomi Indonesia. Saya rasa, perlambatan di kuartal I hanya gangguan sementara saja," jelas Leong. Leong menguraikan, jika melihat situasi di Indonesia, pada Januari hingga Februari terjadi banjir yang cukup parah di Indonesia. Itu sebabnya, terjadi kontraksi pada tingkat ekspor dan impor. "Perlambatan bukan karena tidak ada pesanan, tapi lebih karena terhambatnya lalu lintas sehingga pengiriman tak dapat dilakukan," imbuh Leong. Pelarangan ekspor mineral yang diimplementasikan pada Januari 2014 lalu didesain untuk mengerek laba dari sektor mineral -dengan "memaksa" perusahaan tambang untuk memproses ore sendiri- diduga hanya memiliki dampak yang minim bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Cukup jelas bahwa pengetatan moneter sangat berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan ekonomi. Saya belum begitu yakin jika pelarangan ekspor mineral menjadi kunci utama untuk mendongkrak ekonomi karena peraturan tersebut tidak diberlakukan untuk seluruh mineral," jelas Leong seperti yang dikutip dari CNBC.
Leong meramal, tingkat PDB Indonesia akan berada di level 5% pada kuartal II dan kuartal III. Meski demikian, dia memprediksi, tingkat PDB Indonesia akan pulih ke level 5,4% pada kuartal akhir nanti. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan rata-rata PDB Indonesia di sepanjang 2014 akan berada di level 5,3%. Sementara itu, Martin juga mengungkapkan, ada sebuah harapan bagi ekonomi Indonesia terkait dengan konsumsi rumah tangga. "Tingkat inflasi akan kembali turun tajam dari Juli sebagai dampak dari dihilangkannya kategori kenaikan BBM dari perhitungan tahunan inflasi. Rendahnya inflasi akan meningkatkan daya beli konsumen. Tingginya tingkat kepercayaan konsumen juga turut mendongkrak pertumbuhan," urai Martin panjang lebar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie