Kontestasi demokrasi 2019 mulai masuk fase klimaks. Komisi Pemilihan Umum menetapkan H-3 puncak pemilihan yaitu sejak 14-16 April 2019 sebagai masa tenang. Kontestan dilarang berkampanye lagi. Faktanya banyak prediksi menyatakan masa ini justru dikhawatirkan terjadi puncak serangan fajar berupa politik uang. Semua ini terjadi karena kontestan masih meyakini kuasa uang sebagai faktor penentu kemenangan. Padahal mestinya itu hanyalah mitos. Pemilu 2019 perdana dilakukan serentak antara Pileg dan Pilpres. Modernisasi demokrasi baik secara administratif maupun substantif memang telah terjadi. Namun masih belum sesuai ekspektasi.
Bahkan hal-hal yang mestinya mulai ditinggal, nyatanya masih terpegang kuat dan terkesan dipelihara demi kepentingan politik. Salah satunya terkait mitologi demokrasi, termasuk mitos uang. Seluruh pemangku kepentingan (
stakeholder) penting meyakini bahwa mitos-mitos dalam pemilu, termasuk kuasa uang di pemilu sudah usang. Di balik perubahan-perubahan positif, ritus elektoral masih terus memegang erat mitologi politik. Dalam perjalanan waktu, mitos mengalami komodifikasi, yakni dirancang sebagai komoditas guna memenuhi berbagai jenis tujuan (Endibiaro, 2014). Komodifikasi paling mutakhir adalah hadirnya mitos politik. Banyak bentuk mitos politik yang terus dilestarikan dan diembuskan ke publik demi merengkuh kemenangan mudah dengan nalar pendek. Pertama;adalah mitos asumsi massa. Massa yang terlihat berkerumun banyak akan menjadi kebanggaan dan senjata unjuk kekuatan (
show of force) dari partai politik (parpol). Model pengerahan massa menjadi aksi andalan yang diyakini bisa membuktikan kekuatan hingga mempengaruhi pilihan. Praktiknya tidak jarang yang mengabaikan kualitas massanya. Massa berbayar menjadi fenomena lazim menangkap peluang mitos politik ini. Implikasinya massa tersebut hanyalah fatamorgana, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan antipati lantaran tingkah polah massa yang susah terkendali. Kedua; adalah mitos popularitas. Popularitas memang menjadi jalan pembuka bagi elektabilitas. Sayangnya parpol memilih cara instan dan segala upaya demi mendapatkan personel populer. Caleg artis dan publik figur melalui rekrutmen umum menjadi andalan. Dampaknya proses kaderisasi menjadi mati dan tidak terjadi proses penanaman ideologi atau ideologisasi. Popularitas pun juga digapai sekuat tenaga dengan praktik-praktik politik pencitraan. Dinamika figur dijual melalui rekayasa seolah-olah. Media menjadi senjata memuluskan jual citra ini. Ketiga;mitos modal. Biaya selalu menjadi dilema dalam praktik berpolitik di Indonesia. Pemilu tidak dipungkiri membutuhkan finansial tidak sedikit. Beragam cara pun dilakukan parpol demi mempertebal kantongnya. Artis dan pengusaha menjadi incaran untuk mengisi jabatan struktural atau caleg. Perselingkuhan politik dengan pengusaha juga kerap terjadi melalui segenap janji imbalan pascakemenangan. Hal ini semakin runyam dengan semakin mengguritanya politik uang. Siapa bermodal gede, diyakini akan memenangkan kompetisi. Kampanye sering menjadi ajang adu modal bukan adu gagasan. Keempat; mitos putra lokal. Putra lokal tidak bisa dipungkiri memiliki basis sosiologis lebih kuat. Kemampuan penguasaan teritori pun akan lebih baik dari pada orang luar. Akomodasi terhadap putra lokal menjadi iklim positif bagi pembangunan daerah. Konsekuensinya kualitas personel juga menjadi prioritas pemenuhan. Sayangnya yang terjadi putra lokal sering dimanfaatkan sekadar menjadi pendulang suara (
vote getter). Dalam suasana demografis yang dinamis seperti sekarang, kehadiran putra lokal mestinya tidak menjadi prioritas utama. Prioritas pentingnya adalah berbasis kualitas personel. Upaya mengelola Kelima; mitos Presiden Jawa. Sejarah memang menunjukkan belum ada Presiden yang terpilih melalui pemilu yang berasal dari suku non Jawa. Saat Baharuddin Jusuf Habibie bisa menjadi presiden Indonesia, dipandang sebagai kecelakaan sejarah yang berbau keberuntungan. Mitos politik penduduk Jawa digiring bahwa presiden ditempatkan sakral seperti raja. Konsekuensinya presiden dari Suku Jawa seolah menjadi keniscayaan bagi keyakinan mitologi penduduk Jawa. Hal ini didukung oleh dominasi suara rakyat Jawa. Pemilu 2019 dipastikan juga melahirkan Presiden dari Jawa. Cawapres non-Jawa hanya ada di satu kubu yaitu Sandiaga S. Uno. Mitologi politik dipelihara sebagai bagian rekayasa politik menggiring pilihan publik. Tidak terasa, eksistensi mitologi juga menjebak bahkan berpotensi menjadi bumerang. Sering perkembangan waktu dan peningkatan modernitas demokrasi, maka mitologi penting dikelola hingga dihilangkan pada bagian yang kontra produktif. Mitologi masih menjadi batu sandungan bagi modernisasi kualitas demokrasi. Akibat mitologi, nalar kritis dan kompetisi berkualitas menjadi jauh dari gelaran hajatan pemilu. Semakin luas dampaknya karena terdukung oleh situasi dimana publik mulai jenuh, galau, dan mengarah ke apatisme berpolitik. Akhirnya, sebagian pemain politik terus memainkan mitos sebagai cara yang paling mudah dalam merengkuh pengaruh. Mitos politik semakin runyam dan jauh dari nalar rasional dengan munculnya praktek perdukunan politik, penokohan ratu adil, ramalan pujangga, dan lainnya. Wajah pemilu 2019 diprediksi masih masih akan tetap kusam akibat mitos politik. Jebakan mitos politik saatnya dilawan dengan pendidikan politik. Partai politik bertanggung jawab melakukan pendidikan internal bagi caleg, pengurus, dan kadernya.
Penyelenggara pemilu berkewajiban memberikan sosialisasi publik terkait regulasi yang tidak mengakomodasi mitos. Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak lainnya juga dituntut perannya dalam mencerahkan publik demi penguatan kualitas demokrasi. Mitos politik pelan tapi pasti mesti diganti oleh penilaian politik berbasis kualitas. Personel dan institusi diukur dengan profesionalismenya serta kompetisi diukur dengan visi dan misinya.♦
Ribut Lupiyanto Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi