Harus kita akui, ekonomi Indonesia sedang lesu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) semester I-2013 hanya tumbuh 5,92%, lebih rendah ketimbang PDB semester I–2012 yang mencapai 6,3%. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) beberapa kali mengubah proyeksi PDB hingga akhir 2013. Terakhir, dalam rapat dengan DPR (26/8), pemerintah memproyeksikan pertumbuhan 5,9%–6%. Senada, bank sentral memperkirakan pertumbuhan 5,8%–6%. Apa pun itu, yang jelas proyeksi ini lebih rendah ketimbang target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 yang sebesar 6,3%. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga membuat asumsi belanja negara terancam meleset. APBN-P 2013 mengasumsikan rupiah bisa ditahan di Rp 9.600 per USD. Nyatanya, mata uang garuda malah terus melemah hingga sempat menembus Rp 11.000 per USD. Salah satu dampaknya, beban subsidi bahan bakar minyak bakal terus membengkak.
Sebab, biaya untuk mengimpor minyak jadi lebih besar dari yang diperkirakan. Kurs rupiah yang di atas asumsi semula, kian memperparah defisit neraca perdagangan. Tekanan inflasi beruntun yang mendera sejak awal tahun 2013 hingga sekarang, membuat asumsi inflasi 7,2% meleset menjadi 9,2%. Akibatnya, belakangan Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI rate 50 basis poin ke 7%. Harus berani memberi bunga tinggi Tak pelak, semua faktor itu kian menambah tekanan terhadap harga obligasi. Tanpa tambahan kenaikan suku bunga pun, aura buram sudah melanda pasar surat utang kita. Berdasarkan data Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, sejak April hingga 26 Agustus 2013, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sudah menyusut Rp 11,97 triliun, tinggal Rp 286,75 triliun. Memang, tekanan seperti itu tak cuma terjadi di Indonesia, melainkan seragam di hampir seluruh negara berkembang. Indikasinya, sepanjang April–Agustus 2013, dana asing yang keluar dari pasar obligasi di negara-negara berkembang (emerging markets) mencapai US$ 14 miliar. Masalahnya, meski sama-sama terpengaruh aksi investor asing, dampak yang dirasakan pasar obligasi Indonesia jauh lebih besar ketimbang negara berkembang lain. Head of Investment AAA Asset Management Siswa Rizali mengambil contoh selisih imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) Indonesia dengan yield obligasi negara Filipina bertenor 10 tahun. Saat ini, yield SUN lebih tinggi sekitar 4,8% ketimbang negara tetangga itu. Padahal, dalam kondisi normal, selisih yield SUN Indonesia dengan Filipina hanya sekitar 0,5%–1,0%. Selisih yang kian melebar ini, lanjut Siswa, salah satunya dikarenakan struktur pasar SUN Indonesia yang sangat didominasi oleh investor asing. “Padahal di negara ASEAN lain, investor institusi domestik, seperti dana pensiun dan asuransi, lebih menentukan arah pasar obligasi,” tandas Siswa. Tekanan yang terjadi di pasar obligasi tak urung membuat para penerbit obligasi dalam masalah, tak terkecuali pemerintah. Jika berniat menerbitkan obligasi baru, investor pasti akan meminta bunga lebih tinggi. Pasalnya, perubahan kebijakan, seperti suku bunga, harus dikompensasi agar keuntungan investor bisa terjaga. Selain itu, permintaan bunga yang tinggi juga sebagai konsekuensi persepsi makroekonomi Indonesia yang kurang baik belakangan ini. “Kalau dari awal besaran yield tak jauh dari bunga deposito, buat apa dikoleksi? Lebih baik tidak menaruh dana di obligasi,” tandas I Made Adi Saputra, analis obligasi NC Securities. Di sini pemerintah menghadapi dilema. Sudah beberapa tahun ini dana hasil penerbitan surat utang menjadi salah satu sumber pembiayaan APBN. Dalam kondisi seperti ini, jika tetap melaksanakan penerbitan obligasi baru, pemerintah harus sanggup menjanjikan bunga yang tinggi. Sebaliknya, jika rencana penerbitan surat utang dibatalkan, pembiayaan untuk menutup defisit APBN bisa terganggu. Nasib korporasi yang berniat menerbitkan obligasi juga sama saja. Sebagus apa pun peringkat utangnya, tuntutan terhadap bunga obligasi swasta akan jauh lebih tinggi ketimbang bunga surat utang pemerintah. Ini wajar, sebab potensi gagal bayar swasta memang lebih besar ketimbang pemerintah. Tak aneh jika banyak perusahaan yang menunda rencana penerbitan obligasi. Salah satunya Bank Mandiri yang sejak Juni 2013 sudah mengumumkan menunda penerbitan obligasi senilai Rp 8 triliun. Akibatnya, berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia, selama Agustus 2013, hanya ada satu perusahaan yang mendaftarkan penerbitan surat utang, yakni PT Smart Multifinance. Bentuknya dua medium term note (MTN) bertenor 6 bulan dan 18 bulan, senilai Rp 20 miliar. Peluang bagi investor Di balik beban bagi calon penerbit obligasi yang kian berat, kondisi seperti sekarang bisa dimanfaatkan oleh investor. Menurut Siswa, dengan atau tanpa kenaikan suku bunga BI, pasar obligasi saat ini masih menguntungkan buat investor. Catatan saja, sebelum BI menaikkan bunga acuan, yield rata-rata SUN mencapai 8,8%. Setelah BI rate naik ke 7%, tanpa ada kenaikan yield SUN sekali pun, selisih dengan suku bunga masih cukup bagus. Kalau melihat hasil lelang SUN yang baru digelar, kebijakan suku bunga yang baru tetap membuat investor untung. Mari kita lihat empat seri yang ditawarkan ke investor oleh Kementerian Keuangan Selasa (27/8) lalu. Pertama, SPN12140731 (reopening) dengan jatuh tempo 31 Juli 2014. Kedua, FR0069 (new issuance) yang jatuh tempo 15 April 2019. Ketiga, FR0070 (new issuance) dengan jatuh tempo 15 Maret 2024. Keempat, seri FR0068 (reopening) yang jatuh tempo 15 Maret 2034. Imbal hasil yang dimenangkan cukup menggiurkan. Yield rata-rata tertimbang empat seri SUN ini berkisar antara 6,87250%–9,14887%. Sementara, kuponnya berkisar antara 7,875%–8,375%. Makanya tak aneh, penawaran yang masuk mencapai Rp 23,015 triliun dari target indikatif Rp 8 triliun. Pemerintah sendiri akhirnya menyerap Rp 12 triliun dari lelang tersebut. “Hasil lelang ini sangat besar jika melihat kondisi pasar yang tak pasti akibat sentimen kebijakan Quantitative Easing,” ungkap Made. Panjang atau pendek? Made dan analis obligasi Sucorinvest Central Gani Ariawan melihat, investor sepertinya lebih berminat membiakkan duit di obligasi jangka pendek dan menengah seperti SPN12140731 dan FR0069. Alasannya, semakin pendek durasi obligasi berarti semakin kecil pengaruhnya terhadap perubahan tingkat bunga. Selain itu, periode investasi yang lebih pendek dapat meminimalisir potensi kerugian akibat buruknya performa pasar finansial Indonesia. Namun, Siswa punya pendapat yang berbeda. Meski pasar tak bisa diprediksi, saat ini merupakan peluang bagi investor SUN untuk memperoleh yield yang tinggi yang berasal dari potensi capital gain. “Seandainya pasar kembali mengalami koreksi, maka investor memiliki margin of safety dari yield yang tinggi,” kata Siswa.
Ia merekomendasikan investor membeli SUN tenor panjang di atas 10 tahun, termasuk SUN bertenor 20 tahun bahkan 30 tahun, secara bertahap, agar bisa mendapatkan yield lebih baik, investor bisa memanfaatkan lelang SUN pemerintah. Betul, valuasi SUN baru relatif murah dan investor asing masih potensial keluar dari SUN sehingga membuat risiko investasi di SUN tenor panjang relatif tinggi. Namun, ingat, potensi return juga tinggi. Skenarionya, bila kondisi pasar stagnan, return di obligasi berkisar 7%–8% per tahun. Dengan asumsi harga SUN masih bisa turun hingga 5%, maka return hanya akan sebesar 3%. Tapi, bila investor berani beli saat harga turun, ada potensi meraih return lebih besar saat pasar membaik. “Potensi capital gain terbuka lebar antara 5%–10%,” ujar Siswa. Anda tertarik masuk? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.