KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri pertunjukan dan panggung hiburan menjadi salah satu sektor yang paling remuk dihantam pandemi Covid-19. Layar bioskop pun masih buram lantaran jumlah penonton yang menyusut. Tak heran jika hingga kini, masih banyak bangku kosong karena tingkat keterisian bioskop yang belum tumbuh signifikan. Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan, tingkat keterisian bioskop di setiap daerah memang berbeda. Ini terjadi karena mengacu pada ketentuan pembatasan sosial di masing-masing wilayah. Ada yang sudah mengizinkan keterisian 50% kapasitas bioskop, namun ada juga yang belum memberi izin buka layar.
Namun secara rerata, hingga akhir Maret ini keterisian bioskop belum signifikan, yakni berkisar 15%-20%. "Permasalahannya belum semua dikasih izin. Untuk yang pembatasan 50%, misalnya dari 100 bangku di satu layar, yang boleh diisi 50%. Nah dari itu, paling banyak 15%-20% yang terisi," kata Djonny saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (29/3). Menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa bisnis bioskop masih terpuruk.
Pertama, masyarakat masih takut untuk menonton di bioskop. Djonny bilang, ketakutan masyarakat tak lepas dari adanya semacam "kampanye hitam" (
black campaign) yang mencitrakan seolah-olah bioskop berbahaya dalam penularan Covid-19. Padahal, protokol kesehatan pun sudah dijalankan ditambah dengan adanya aturan ketat pembatasan keterisian ruangan. "Ada saja
black campaign bioskop berbahaya, namun nggak bisa dibuktikan. Bagaimana itu restoran, kapal terbang, angkutan darat dan pasar? akibat itu orang tidak berani ke bioskop," jelas Djonny.
Kedua, faktor merosotnya daya beli, terutama di daerah. Hal ini turut menyebabkan keterisian bioskop yang masih sepi.
Ketiga, keberanian para pemilik film untuk memutar di bioskop. "Film impor sudah mulai berani, penonton lumayan, tapi belum seperti dulu (sebelum pandemi). Film nasional baru ada 3 atau 4. Mereka masih
wait and see," sebut Djonny.
Baca Juga: Wali Kota Depok: Bioskop hingga wahana bermain bisa dibuka secara terbatas Keempat, faktor regulasi. Sebab, setiap daerah memiliki peraturan yang berbeda. Lalu, faktor kelima yang membuat pengelola bioskop terbebani ialah beban operasional, terutama biaya listrik. "(Biaya listrik) itu tinggi. Mau pandemi, nggak pandemi, bayar. Pemakaian daya nggak jauh beda," sambung Djonny. Apalagi, di tengah merosotnya pendapatan bioskop, pajak terhadap daerah pun harus tetap disetor. GPBSI pun berhadap ada keringanan baik dari sisi biaya listrik maupun beban biaya lainnya. Sebagai gambaran, pendapatan bioskop yang sebelum pandemi bisa menyentuh Rp 40 juta sehari, kini hanya di bawah Rp 10 juta. Bahkan ada yang hanya mencapai Rp 2 juta. Di tengah kondisi itu, pada beberapa bioskop yang harus menanggung kerugian hingga Rp 150 juta dalam sebulan. Oleh sebab itu, beberapa bioskop di daerah menyiasatinya dengan membuka bioskop hanya empat hari dalam seminggu guna menekan biaya.
"Ya jadi begitu, tiga hari tutup, empat hari buka. Untuk menekan beban, mengurangi biaya listrik juga," ungkapnya. Djonny memprediksi, bisnis bioskop tidak akan lekas pulih di tahun ini. Meski begitu, pemulihan ekonomi dan vaksinasi Covid-19 menjadi katalis positif untuk sektor pariwisata dan hiburan, termasuk bioskop. "Kalau menurut saya mungkin di tahun-tahun depan (pemulihan bisnis bioskop). Yang pasti ada harapan dari vaksinasi, kalau berjalan lancar sudah 60%, rasa takut ke bioskop bisa hilang, ada kepercayaan. Yang penting jangan
black campaign lagi," terang Djonny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari