Masih banyak ketidakpastian, pertumbuhan 2019 dinilai terlalu tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai beberapa asumsi makro yang dipatok pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2019 tidak realistis. Terutama, pada asumsi pertumbuhan ekonomi dan kurs rupiah.

David menilai, asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 5,4%-5,8% terlalu tinggi. Sebab di tahun depan, tekanan dari eksternal semakin berat.

Terutama, adanya kelanjutan kenaikan bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS). Hal ini akan membuat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7-day Reverse Repo Rate) kemungkinan akan berlanjut.


Belum lagi, dari sisi fiskal bahwa lifting minyak yang semakin rendah. Dengan demikian, pemerintah hanya akan mengandalkan pajak. "Sementara kondisi swasta saat ini masih lemah jadi kelihatannya mau mengandalkan swasta agak susah," kata David kepada Kontan.co.id, Jumat (18/5).

Dari sisi pemerintah juga demikian. Menurut David, pemerintah tidak terlalu ekspansif yang terlihat dari defisit APBN yang semakin turun. Tahun depan, pemerintah mematok target defisit anggaran sebesar 1,6%-1,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Maka ke arah 5,8% agak susah, masih di kisaran 5,2%-5,4% di tahun depan," tambah David. Kecuali, ada keajaiban harga komoditas melonjak. Namun menurutnya, harga-harga komoditas di tahun depan juga tidak akan berbeda jauh dari tahun ini.

Dari sisi kurs rupiah yang dipatok pemerintah sebesar Rp 13.700-Rp 14.000 per dollar AS dinilai David juga kurang realistis. Sebab, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi maka defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) akan melebar.

Sementara aliran modal yang akan masuk diperkirakan akan lemah karena kenaikan bunga acuan The Fed. Ia memperkirakan, kurs rupiah tahun depan akan ada di kisaran Rp 14.000-Rp 14.300 per dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto