Masih berat bilang daya beli membaik



Tanda pemulihan daya beli masyarakat disebut mulai tampak. Badan Pusat Statistik (BPS) bilang, inflasi inti tahun ke tahun pada Maret 2018 lalu mencapai 2,67%, meningkat dibanding periode sama di 2017 sebesar 2,58%.

Kenaikan inflasi inti tahunan ini merupakan yang pertama sejak awal tahun. Benarkah daya beli masyarakat bangkit lagi?

Penguatan inflasi inti bisa menjadi petunjuk peningkatan kemampuan pembelian di masyarakat. Soalnya, pergerakan inflasi inti tidak terpengaruh oleh naik-turun harga barang bergejolak, harga energi, dan harga yang diatur pemerintah. Perhitungan inflasi inti biasanya menggunakan barang-barang tahan lama.


Menurut Kepala BPS Suhariyanto, kenaikan inflasi inti tahunan pada Maret lalu sebagai pertanda baik bagi ekonomi. Dengan inflasi inti yang naik, bisa dikatakan, permintaan (demand) terlihat kembali.

Cuma, hasil survei Nikkei dan IHS Markit menunjukkan, Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia ada di level 50,7 pada Maret lalu. Angka PMI di atas 50 sejatinya menunjukkan industri di negara kita masih berekspansi.

Tapi, dibanding indeks Februari yang di posisi 51,4, ekspansi Maret tak sebegitu kencang lagi. Perlambatan ekspansi terjadi di sisi output dan permintaan baru.

Kinerja ekspor kita pada Februari juga kurang menggembirakan. BPS mencatat, nilai ekspor Indonesia selama Februari sebesar US$ 14,09 miliar, turun tipis dari Januari yang mencapai US$ 14,55 miliar.

Tapi, momentum untuk mengerek daya beli masyarakat lebih tinggi lagi ada di depan mata. Apalagi kalau bukan bulan puasa dan Lebaran. Meski begitu, perjalanan ke depan, bukan tanpa masalah.

Pelaku usaha punya banyak kekhawatiran menyongsong hari esok. Apa saja kecemasan utama pengusaha? Benarkah daya beli masyarakat mulai membaik?

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengungkapkannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo, Rabu (4/4). Berikut nukilannya:

KONTAN: BPS menyebutkan, inflasi inti tahunan pada Maret lalu meningkat. Tanggapan para pelaku usaha? HARIYADI: Tentu bagi pengusaha, inflasi inti yang membaik merupakan kabar bagus. Hanya, inflasi yang rendah akan meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik.

Pemerintah menargetkan inflasi tahun ini di bawah 4%. Jadi, di awal tahun, inflasi memang tidak terlalu bergejolak. Naik tipis atau turun tipis. Sepanjang Pemerintahan Jokowi, inflasi memang terkendali.

KONTAN: Dengan inflasi inti yang meningkat, apakah berarti daya beli masyarakat benar mulai membaik? HARIYADI: Tidak bisa dikatakan, kalau inflasi inti meningkat, berarti daya beli masyarakat mulai membaik. Kalau dikatakan, ada potensi daya beli membaik, itu bisa.

Soalnya, dari kacamata pengusaha, masih berat untuk mengatakan kalau saat ini daya beli mulai membaik. Apalagi, daya beli kalangan menengah ke bawah.

Tetapi, daya beli untuk kalangan menengah ke atas memang mempunyai potensi kenaikan. Kalau untuk menengah ke atas, kan, ini masalah persepsi. Kalau memang mereka yakin, maka akan membeli. Beda dengan menengah ke bawah yang banyak faktor buat meningkatkan daya beli mereka.

KONTAN: Itu artinya, hingga akhir tahun nanti daya beli akan tetap seperti ini? HARIYADI: Kondisi saat ini semakin membuat pengusaha tertekan. Sebab, biaya produksi yang tinggi tak seimbang dengan daya beli masyarakat. Ujungnya, mau tidak mau harga barang akan tertahan.

Artinya, kan, memang inflasi akan terkendali. Namun, daya beli masyarakat akan tetap begitu saja. Sangat berat untuk menaikkan daya beli terutama dari kalangan menengah ke bawah.

KONTAN: Lalu, apa yang perlu pemerintah lakukan untuk memperbaiki daya beli menengah ke bawah? HARIYADI: Kalau untuk menengah ke bawah, memang cukup berat memperbaiki daya beli mereka. Tapi, itu bisa dilakukan dengan terus menambah lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat. Tak ada cara lain, harus mendatangkan investasi baru ke dalam negeri.

Pemerintah memang sudah dan terus bekerja untuk menciptakan investasi baru di tanah air. Cuma, masalah utama investasi saat ini ada di koordinasi, baik itu antarkementerian dan lembaga maupun antara pemerintah pusat dengan daerah.

Saat investor melakukan eksekusi, peraturan yang ada tak seperti waktu awal mereka masuk. Banyak aturan tidak konsisten yang menyulitkan investor untuk merealisasikan investasinya di Indonesia.

Selain itu, pemerintah harus mempertahankan investasi yang ada dengan aneka insentif dan peraturan yang konsisten. Banyak aturan yang tidak konsisten membuat pebisnis eksisting memilih hengkang.

Pemerintah memang terlihat berusaha untuk menaikkan iklim yang baik agar investasi asing mau masuk ke dalam negeri. Cuma, agak terhambat juga dengan kondisi global.

Sedangkan dari sisi kalangan menengah ke atas, kan, ini persoalan persepsi. Makanya, kalau Pemerintahan Jokowi menjalankan roda dengan baik, maka persepsi juga akan naik.

KONTAN: Prediksi inflasi hingga akhir tahun? HARIYADI: Inflasi masih akan sesuai perkiraan pemerintah, bisa di bawah 4%. Menurut saya, praktis kondisi ekonomi Indonesia walau inflasi memang mulai membaik, daya beli masyarakat tetap akan stagnan. Hingga akhir tahun, praktis tidak banyak gejolak.

KONTAN: Di sisi lain, ekspor kita turun dan indeks manufaktur juga turun. Bagaimana Anda memandangnya? HARIYADI: Kalau melihat ekspor, memang melihat sepintas ada yang berseberangan. Tapi dari kacamata pengusaha, sebenarnya masih relatif positif, meski datanya terlihat seolah-olah rendah. Menurut saya, ini hanya masalah soal ketidakpercayaan pengusaha saja.

Semuanya akan kembali lagi, yang namanya ekspor memang agak stagnan karena banyak negara yang mulai lebih protektif, misalnya, kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS).

Kan, ada aksi proteksionisme pertama kali Donald Trump sebagai Presiden AS, dengan menarik diri dari kesepakatan perdagangan Trans Pacific Partnership (TPP). Uni Eropa juga protektif kebijakannya.

Tapi, bukan cuma ekspor, nilai impor sepanjang Maret pun turun, dari US$ 15,31 miliar menjadi US$ 14,21 miliar. Kalau daya beli tertahan, maka impor otomatis akan tertahan.

KONTAN: Ini bukan lantaran pengusaha pesimistis terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, ya? HARIYADI: Bukan, ini memang karena murni dinamika global. Kami selalu optimistis lah di tahun ini.

KONTAN: Hingga akhir tahun, apa saja yang jadi kekhawatiran pengusaha? HARIYADI: Di antara semuanya yang paling mengkhawatirkan adalah masalah global. AS dengan Presidennya saat ini Trump penuh ketidakpastian. AS jadi suka aneh-aneh. Contoh, kebijakan proteksionisme Trump membawa dampak kepada penurunan volume perdagangan secara global.

Belum lagi dengan urusan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed). Kebijakannya soal penurunan suku bunga bisa membuat nilai tukar rupiah anjlok. Artinya, pengusaha yang mengambil utang dalam dollar AS akan terus tertekan.

Yang terbaru soal perang dagang AS dan China. Kedua negara itu saling berbalas dengan kebijakan tarif untuk melindungi pasar dalam negeri.

Sedang dalam negeri, pelaku usaha masih belum bisa menggenjot pendapatan karena daya beli masih stagnan. Pengusaha jadi tidak percaya diri.

KONTAN: Dampak perang dagang AS dan China? HARIYADI: Yang pasti, kan, Indonesia juga ikut kena dampaknya, baik dari sisi ekspor maupun impor. Begitu China mengalami penurunan penjualan ekspor ke AS, mereka tentu akan melempar produknya ke negara lain.

Di sisi ekspor, kita juga kena karena kebijakan proteksi. Di sisi impor, kita kena limpahan barang dari China yang akan membanjiri pasar dalam negeri. Ini membuat pengusaha lokal juga menjadi sulit karena semakin bersaing dengan barang China.

KONTAN: Bagaimana dengan pajak? Pengusaha masih melihat pajak bisa jadi kendala di tahun ini? HARIYADI: Soal pajak memang bisa saja mengganggu. Namun, mudah-mudahan saja tidak mengganggu. Yang jelas,  pelaku usaha terus menjaga hubungan dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. 

KONTAN: Memang, apa, sih, yang pengusaha cemaskan dari kebijakan pajak? HARIYADI: Kebijakan yang seperti seolah-olah wajib pajak dikejar-kejar sehingga menjadi takut. Kemarin, kan, sempat ramai tidak dibolehkannya penggunaan e-Faktur tanpa nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan nomor induk kependudukan (NIK).

Kebijakan ini membuat pengusaha takut dan ragu karena menyangkut uang yang banyak. Untungnya, kebijakan yang seharusnya berlaku pada 1 April 2018 itu ditunda lagi. Pendekatan kami dengan Ditjen Pajak memang dibutuhkan untuk menghadapi iklim bisnis yang sejuk di tanah air.  

KONTAN: Tahun 2018 dan 2019, kan, tahun politik karena ada pilkada serentak lalu pemilu dan pilpres. Pengusaha khawatir dengan gonjang-ganjing politik ini? HARIYADI: Kami belum melihat ada tokoh kontroversial yang bisa membuat kondisi politik mengganggu perekonomian dalam negeri. Agak berbeda dengan persoalan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama yang membuat kontroversi hingga ke berbagai lapisan.

Jadi, kami optimistis, bahwa ekonomi dalam negeri tidak akan terlalu terganggu dengan persoalan politik.      

◆ Biodata Hariyadi Sukamdani

Riwayat pendidikan: ■     Sarjana Teknik Sipil Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ■     S2 Manajemen Universitas Indonesia (UI)

Riwayat pekerjaan: ■     Vice President Sahid Group ■     Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International Tbk     ■     Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI)           ■     Ketua Harian Yayasan HIPMI Jaya ■ Ketua Dewan Kehormatan HIPMI ■     Ketua Dewan Pimpinan Nasional Apindo Bidang Jaminan Sosial dan Pengupahan                                         ■     Sekretaris Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN)                            ■     Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Sistem Fiskal ■     Ketua Kadin                                                                                                                ■     Ketua Umum Apindo             

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi  9 April - 15 April 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Masih Berat Bilang Daya Beli Membaik"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga